JURNALIS KIDAL
Membuat dan Mencatat Sejarah
 
Friday, May 11, 2007
Tiga Tahun Satu Atap
Peradilan Agama Masih Hadapi Masa Transisi
Anggaran Peradilan Agama meningkat tajam. Urusan administrasi juga makin baik. Sayang, kepegawaian masih jadi masalah.

Tigapuluh Juni 2004 lalu, Peradilan Agama (PA) resmi berada di bawah naungan Mahkamah Agung (MA). Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang semula di bawah Departemen Agama (Depag) pun berubah menjadi Ditjen Badan Peradilan Agama (Badilag) di bawah MA. Perubahan itu berdasarkan Pasal 42 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 2 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke MA.


Kini, setelah tiga tahun seatap dengan peradilan lainnya di bawah MA, PA mengalami banyak kemajuan. Namun demikian, sederet masalah juga masih menghimpit. “Sekarang, terus terang saja, meskipun sudah tiga tahun tetapi masih dalam masa transisi. Ada banyak hal yang masih harus dibenahi,” kata Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) Wahyu Widiana, di Jakarta, pekan lalu.

Masalah kepegawaian, kata Wahyu, menjadi prioritas pembenahan Badilag. Wahyu menjelaskan, di tingkat Direktorat Jenderal atau organisasi kesekretariatan, belum ada pegawai eselon IV. “Ini mempengaruhi kinerja, sebab eselon IV ini ujung tombak,” tegasnya.

Sesuai Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 2005, Badilag bertugas membantu Sekretaris MA dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tata laksana perkara dari lingkungan PA. Untuk urusan teknis yudisial PA, MA memiliki institusi bernama Urusan Lingkungan Perdata Agama (Uldilag). Sejak 1946, Uldilag di bawah MA, dimana sebelumnya berada dalam naungan Departemen Kehakiman.

Setelah berada di bawah MA, perubahan signifikan terjadi pada sektor anggaran. Pada 2004, ketika PA masih di bawah Depag, anggaran yang dialokasikan pemerintah hanya Rp51 M. Kini, anggaran PA melambung menjadi lebih dari Rp300 M. Jika dikalkulasi, anggaran PA naik enam kali lipat.


Sumber: Dirjen Badilag (diolah).

Menurut Wahyu, kenaikan itu bukan atas usul Badilag, melainkan atas inisiatif MA. “Badilag hanya menyiapkan data saja. Yang menyetujui adalah pimpinan MA setelah bicara dengan DPR,” ungkapnya.

Ada tiga komponen anggaran dalam PA, yaitu belanja modal, belanja barang, dan belanja pegawai. Untuk 2006, misalnya, Rp62 M dialokasikan untuk belanja barang, sedangkan Rp172 M untuk belanja modal. “Kalau belanja pegawai, sama saja dengan instansi lain,” kata Wahyu.

Kenaikan anggaran ini berimbas pada peningkatan sarana dan prasarana PA. Hanya, soal pengadaan sarana dan prasarana ini bukan wewenang Badilag, tapi menjadi garapan Biro Perencanaan dan Biro Perlengkapan Badan Urusan Administrasi MA. Meski demikian, kata Wahyu, anggaran Badilag diperuntukkan juga untuk membeli tanah atau membangun gedung PA.

Makin PD dan tak mau 'gaptek'
Bergesernya posisi PA dari Depag ke MA berimbas juga pada kewenangan PA. Hal itu terbaca dari disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 yang menggantikan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. “Kita tak tahu persis apakah itu pengaruh satu atap atau tidak. Yang jelas, UU itu ada setelah satu atap,” jelas Wahyu.

Perubahan drastis tentu saja berkaitan dengan kompetensi PA dalam menangani perkara ekonomi syariah, dari sebelumnya yang hanya berkutat di wilayah kawin-cerai. Banyak kalangan memang masih meragukan kemampuan hakim PA. Tapi, “Saya yakin mereka mampu sebab kalau mereka diberi kepercayaan, maka akan belajar dengan bagus. Sekarang ada lebih dari 500 hakim PA berpendidikan S-2, dan banyak yang mengambil hukum bisnis,” imbuh Wahyu.

Kini penghargaan masyarakat terhadap hakim PA juga membaik. “Kalau dulu, pandangan masyarakat, PA itu sama dengan KUA karena di bawah Depag. Sekarang pandangan masyarakat dan instansi, hakim agama sama dengan hakim umum,” kata Wahyu. Hakim agama pun makin PD alias percaya diri.

Dengan anggaran yang memadai, PA juga bergiat diri memanfaatkan Teknologi Informasi (TI). Sebenarnya, ketika masih di bawah Depag, soal TI ini sudah digalakkan. Namun anggaran dan SDM masih jadi kendala. “Kami tidak mau pegawai atau hakim PA gaptek (gagap teknologi—red),” tandas Wahyu. Untuk itu, Badilag kini sudah membangun website yang berisi banyak hal berkaitan dengan PA: dari berita aktual hingga panggilan sidang secara online.

Perkembangan mutakhir, dengan restu Ketua Muda Uldilag Andi Syamsu Alam, Badilag menyurati seluruh Ketua PA agar mengirim data soal jadwal sidang, panggilan sidang (relaas), dan rekap perkara. Data-data itu harus dikirim per bulan dan akan dipublikasikan melalui website Badilag.

Banyak tantangan
Perkembangan baru PA pasca seatap di bawah MA diapresiasi positif oleh Rifqi Sjarief Assegaf. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini menyatakan, dalam banyak hal PA memberi kontribusi yang signifikan terhadap kemudahan access to justice. Pemanfaatan TI merupakan contoh konkritnya.

Rifqi juga salut akan budaya egaliter di lingkungan PA. Sekalipun secara kepegawaian terdapat hirarki, namun suasana kesederajatan di PA masih sangat terasa. “PA juga tergolong efisien dalam memanfaatkan anggarannya,” tambah Rifqi.

Kurangnya pegawai eselon IV, menurut Rifqi, bukanlah masalah yang hanya melilit PA. Lingkungan peradilan lainnya juga menghadapi masalah yang sama. “Karena memang masih dalam masa transisi,” ujarnya.

Menurut Rifqi, selama masa transisi ini PA dihadapkan pada banyak tantangan. Tantangan utama menyangkut anggaran yang makin meningkat. Rifqi mewanti-wanti agar pegawai dan hakim PA menjaga integritasnya. Sebab bukan tak mungkin, mereka tergoda untuk menyelewengkan anggaran.

Pola pikir sebagian besar hakim PA juga harus segera diubah. Rifqi mencontohkan, dalam menangani perkara perkawinan, hakim PA masih sering bias jender.
posted by HERMANSYAH 9:19 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, May 03, 2007
‘Menjatuhkan’ Garuda dengan Konvensi Warsawa
Pengacara Suciwati menyerang balik saksi ahli yang dihadirkan Garuda. Keterangan saksi ahli di depan persidangan ternyata berbeda dengan di dalam buku yang ditulisnya.

Tak mudah memang menuntut tanggung jawab sebuah perusahaan penerbangan yang telah membikin penumpangnya meninggal dunia di pesawat. Apalagi, meninggalnya penumpang tersebut dalam kondisi tak wajar dan diduga melibatkan intelijen.



Di Indonesia, sejauh ini, belum ada peraturan perundangan yang secara eksplisit mengatur soal itu. Baik dalam UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan maupun dalam PP No 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan dalam Penerbangan, pengaturan soal itu tidak ada.

Kalaupun ada ketentuan yang agak ‘menyerempet’, ialah pasal 60 UU Penerbangan. Di situ dijelaskan, barangsiapa yang menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60 juta.

Sayang, aturan itu tak bisa diterapkan untuk sembarang kasus. Aturan itu semata-mata berkaitan dengan standar kelayakan pesawat untuk terbang. Akibatnya, tiada aturan yang menjelaskan bagaimana konsekwensinya bula ada penumpang yang meninggal di pesawat tapi bukan karena sebuah kecelakaan.

Namun di tangan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir), ketiadaan aturan itu tak membuat mereka kehilangan acuan untuk memenangkan istri (alm.) Munir, Suciwati, yang menggugat PT Garuda dan sejumlah awaknya.

Untuk meyakinkan majelis hakim bahwa Garuda telah melakukan perbuatan melawan hukum, KASUM akhirnya mengandalkan Konvensi Warsawa 1929. Konvensi ini merupakan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab pengangkut, khususnya dalam pengangkutan internasional (international carriage).

“Konvensi Warsawa berlaku di Indonesia dengan staatsblaad 1933 No. 347 yang dengan ketentuan peralihan dalam UUD 1945 tetap berlaku dan ditegaskan pula oleh UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Konvensi ini juga dicantumkan dalam tiket pesawat Garuda,” kata anggota KASUM Asfinawati, ketika menyampaikan kesimpulan dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, Kamis (12/4).

Di balik argumen KASUM itu, ternyata ada sesuatu yang ganjil. Disebut ganjil karena KASUM justru mengadopsi uraian yang disampaikan pakar hukum penerbangan Martono yang pada sidang sebelumnya dihadirkan pihak Garuda untuk menjadi saksi ahli.

Sederet argumen Martono akhirnya dipakai KASUM untuk menyanggah paparannya sendiri dalam persidangan. Ketika menjadi saksi ahli, dia menegaskan tiadanya peraturan perundangan yang mengatur soal tanggung jawab perusahaan penerbangan terhadap kelalaian yang menyebabkan meninggalnya penumpang dalam pesawat. Namun dalam bukunya berjudul Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Martono justru menyatakan, Konvensi Warsawa 1929 berlalu di Indonesia.

Pasal 1 ayat 2 Konvensi tersebut menjelaskan pengertian pengangkutan, yaitu meliputi pengangkutan di antara Negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini. Baik pengangkutan yang dilaksanakan oleh Negara maupun badan hukum publik tercakup dalam konvensi ini.

“Garuda memenuhi ketentuan mengenai jenis pesawat maupun wilayah pengangkutan internasional. Karena itu tepat kalau konvensi warsawa diterapkan dalam kasus ini,” cetus Asfinawati.

Suciwati Optimis
Dalam kesimpulan gugatannya, KASUM yang mewakili Suciwati tetap mempersoalkan pemindahan kursi Munir yang tidak sesuai dengan boarding pas, adanya kru Garuda dengan surat tugas yang cacat hukum, gross negligence dalam mengawasi makanan dan minuman yang mengakibatkan kematian Munir, dan gross negligence dalam menangani sakitnya Munir.

Sementara itu, meski sempat dianggap ‘tidak masuk’ akal oleh para tergugat, ganti rugi jasa pengacara sebesar Rp1,3 miliar juga tetap dicantumkan. Ganti rugi lain yang diminta adalah kerugian material Rp4 miliar dan immaterial Rp9 miliar.

Di luar tuntutan ganti rugi, yang menarik, KASUM meminta agar Garuda membuat monumen peringatan kematian Munir di halaman kantor Garuda. Selain itu, KASUM berharap Garuda akan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat mengenai tragedi kematian Munir yang dicetak di tiket.

Dua pekan mendatang, sidang perkara ini akan diketahui hasilnya. Majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin menjadwalkan perkara ini akan diputus Kamis (26/4). Suciwati optimis gugatan ini akan dia menangkan. “Sudah ada banyak kasus seperti ini di Amerika dan Eropa,” tuturnya.
posted by HERMANSYAH 11:42 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Eksaminasi Publik Kasus Munir: Ada Fakta yang Dimunculkan Sendiri oleh Hakim

Penyidik, penuntut dan majelis hakim dinilai memiliki peran dalam mereduksi fakta yang sebenarnya.

Tak ada suara berapi-api. Pun tak ada gebrakan meja. Tapi pembacaan putusan eksaminasi publik atas proses hukum kasus pembunuhan Munir mampu membikin emosi meluap.

Dengan sepenuh rasa, Rudy Satriyo (pakar hukum pidana), Irianto Subiakto (advokat), dan Firmansyah Arifin (ketua KRHN) membacakan putusan itu, di sebuah tempat di Jakarta Pusat, Rabu (14/3). Bersama Prof Soetandyo Wignjosoebroto dan Prof Komariah Emong Sapardjaja, ketiganya menjadi majelis eksaminasi. Sayang, dua guru besar tersebut berhalangan hadir. “Putusan Mahkamah Agung (MA) atas perkara pidana pembunuhan berencana terhadap Munir layak dikaji karena kontroversial, baik dari sisi pembuktian maupun amar putusannya,” ucap Irianto, membuka pembacaan putusan eksaminasi.

Sisi kontroversial itu begitu kentara karena majelis hakim MA yang mengabaikan keterkaitan antara penggunaan surat palsu dengan dakwaan pembunuhan berencana. Padahal, penggunaan surat palsu tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada motif yang terkait. Selain itu, MA juga hanya terpaku pada judex jurist, sehingga mengabaikan judex facti.

Kesalahan yang dilakukan MA, di mata para pengkaji, sejatinya hanyalah kelanjutan saja dari tidak beresnya proses persidangan kasus pembunuhan Munir. Mula-mula JPU membuat dakwaan dengan asumsi seolah-olah pembunuhan berencana dan penggunaan surat palsu sebagai perbuatan pidana yang berdiri sendiri. Asumsi JPU tersebut lantas ditindaklanjuti oleh pengadilan dan MA.

Kekeliruan fatal bahkan dilakukan PN Jakarta Pusat ketika mereka-reka fakta yang tidak pernah diajukan JPU dan tidak didukung alat bukti. Dalam pertimbangannya, majelis hakim PN Jakarta Pusat berpendapat racun arsenic bukan masuk melalui minuman (welcome drink) berupa jus jeruk yang disodorkan sebelum take off, melainkan melalui penyajian makan malam (meal) berupa mie goreng yang telah disiapkan Oedi Irianto. Menurut majelis eksaminasi, hal itu merupakan fakta yang dimunculkan sendiri oleh hakim tanpa ada bukti.

Kejanggalan lain adalah soal pembuktian unsur berencana. Asumsi yang dibangun pengadilan adalah seakan-akan perencanaan pembunuhan dilakukan di dalam pesawat Garuda, setelah take off di Jakarta sampai Singapura. Pelakunya pun terbatas pada orang-orang yang berada dalam pesawat itu.

Majelis eksaminasi justru menengarai adanya perencanaan matang yang dilakukan sejumlah nama dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Garuda. Karena itu, majelis eksaminasi sangat menyayangkan tidak adanya tindak lanjut terhadap kemungkinan keterlibatan mereka.

Keterlibatan orang-orang BIN dan Garuda sebenarnya mulai tercium ketika TPF berhasil mengungkap siapa saja yang berkomunikasi dengan Pollycarpus, sebelum kematian Munir, 6 September 2004. Dan pada persidangan di PN Jakarta Pusat, kemungkinan keterlibatan BIN dan petinggi Garuda makin gamblang. Tapi ketika itu JPU tidak mengeksporasinya lebih jauh. Hakim juga tidak bertindak tegas terhadap keterangan-keterangan yang saling bertentangan.

Tak pelak, majelis eksaminasi menuding adanya reduksi fakta di setiap tingkatan proses hukum. Penyidik, penuntut dan majelis hakim dinilai memiliki peran dalam mereduksi fakta-fakta yang sebenarnya.



Desak JPU Ajukan PK
Dalam rekomendasinya, majelis eksaminasi menegaskan perlunya gebrakan kepolisian dan kejaksaan. Gebrakan tersebut diharapkan mendatangkan setidaknya dua hal: selain diseretnya tersangka baru, juga kemungkinan ditemukannya bukti baru yang bisa dijadikan novum oleh kejaksaan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Disadari Rudi Satriyo, pengajuan PK bukan perkara gampang. Secara legal formal, PK oleh jaksa tidak dimungkinkan, kacuali jika KUHAP direvisi. “Tapi sudah ada yuresprudensi mengenai bolehnya jaksa mengajukan PK, yaitu dalam perkara Mukhtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School,” ujarnya.

Seide dengan Rudi, juru bicara Kejaksaan Agung Salman Maryadi juga mengungkapkan kemungkinan jaksa mengajukan PK. “Berdasarkan teori interpretasi a contrario terhadap Pasal 263 KUHAP, pengajuan PK dimungkinkan oleh jaksa. Menurut pasal itu, permintaan PK dapat dilakukan bila ada bukti baru (novum), bukti yang bertentangan satu sama lain, dan kekhilafan hakim,” ungkapnya.

Di pihak lain, Mohammad Assegaf, pengacara Pollycarpus, menegaskan bahwa PK oleh jaksa tidak bisa ditempuh. Walau dulu pernah ada contohnya, namun Assegaf menganggap hal itu tak lepas dari permainan politik belaka. “Secara legal formal jelas tidak mungkin,” tandasnya.

Assegaf sepakat dengan majelis eksaminasi yang menyatakan putusan kasasi MA memiliki kelemahan. Namun Assegaf mengaku tidak mengerti alasan yang dipakai majelis eksaminasi yang terlalu memojokkan Pollycarpus. Kalau mau obyektif, ujarnya, kelemahan putusan MA adalah satu rangkaian dengan amburadul-nya penyusunan BAP, dakwaan, hingga putusan pengadilan.

Terlalu Santun
Proses eksaminasi ini telah berjalan sejak akhir 2007 lalu. Pihak-pihak yang menggagasnya antara lain YLBHI dan Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM).

Meski cukup pedas dalam memberikan penilaian, tapi majelis eksaminasi masih dianggap kurang berani oleh mantan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan. “Majelis eksaminasi terlalu sopan. Mestinya perlu ada rekomendasi untuk memberhentikan hakim agung MA yang meloloskan Pollycarpus, kecuali hakim yang memilih dissenting opinion,” cetusnya.

Keluhan Nababan tersebut tak sepenuhnya benar. Majelis eksaminasi bahkan berani mencurigai adanya upaya sistematis untuk membebaskan semua pihak yang terlibat. “Kita sudah menduga MA akan membuat putusan seperti ini. Memang ada kecenderungan untuk membebaskan pembunuh Munir,” ungkap Firmansyah Arifin. Dia kecewa terhadap pengadilan yang dinilainya sangat payah. Dalam kasus Akbar Tanjung, ujarnya, MA juga memeriksa judex facti, tapi dalam kasus Munir MA hanya fokus pada judex jurist.

Kecurigaan seperti itu memang tak aneh. Toh, publik terlanjur berprasangka adanya keterlibatan pihak intelijen. “Memang ada kecenderungan pembebasan berencana terhadap para pihak yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Tapi ini hanya analisis. Kita tak bisa membuktikan. Putusan MA sendiri telah melecehkan akal sehat publik,” ungkap Irianto Subiakto.

Sementara itu, Suciwati mengaku sangat kecewa dengan tidak hadirnya para pihak terkait dalam pembacaan putusan eksaminasi. “Tidak ada keseriusan untuk mengungkap pembunuhan Munir. Tidak ada sensitivitas. Persoalan ini hanya dianggap angin lalu,” ujarnya. Dia berharap eksaminasi dapat menjadi pelajaran agar ke depan tragedi seperti ini tidak terulang.
posted by HERMANSYAH 10:38 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Tunggakan Perkara di MA: Harus Dikikis agar Cepat Habis

Dengan hanya 46 hakim agung, MA punya beban kerja yang luar biasa. Tunggakan perkara sedikit berkurang, tapi ‘pekerjaan rumah’ masih menumpuk.

“Kerja, kerja, kerja!” Begitulah teriak Kaka Slank ketika menyanyikan sebait lagu berjudul Mars Slanker. Andai lagu itu dinyanyikan di hadapan para hakim agung di Mahkamah Agung (MA), betapa dahsyat efeknya.

Ya, hakim agung MA memang sering disorot. Mereka sudah kadung identik dengan ‘sepuh’ dan ‘lambat’. Padahal, beban kerja mereka sungguh tak ringan. MA mengklaim, per bulan setiap hakim agung punya beban untuk menyelesaikan 540 perkara.

Sampai bulan ini, hakim agung yang menghuni MA tinggal 46 orang. Berdasarkan UU No. 4/2004 tentang MA, jumlah hakim agung maksimal bisa mencapai 60 orang. Dari 46 hakim agung yang tersisa itu, beberapa di antaranya bahkan sudah uzur, lalu menyiasatinya dengan memperpanjang masa pensiun. Sementara itu, penambahan hakim agung sejauh ini belum juga terealisasi. Komisi Yudisial yang diberi mandat menyeleksi calon hakim agung nyatanya belum juga merampungkan tugasnya.

Dengan beban kerja seperti itu, hakim agung MA kewalahan menangani perkara kasasi atau Peninjauan Kembali. Sebulan saja, perkara yang terdaftar MA sekitar seribu. Tahun 2006 lalu bahkan masih tersisa 9681 perkara yang belum dituntaskan MA.

“Sisa tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan sisa tahun 2005 sebesar 14.366 perkara,” kata Ketua MA Bagir Manan saat menyampaikan Laporan Tahunan MA tahun 2006, Selasa (24/4).

MA mencatat, sisa perkara tahun 2005 berjumlah 14.366. Kemudian pada tahun 2006, perkara yang masuk ada 10.460. Dari jumlah itu, MA berhasil memutus 15.245 perkara. Dengan demikian, hingga akhir 2006 lalu, masih tersisa 9681 perkara yang belum diputus.

Jumlah tunggakan perkara MA
---------------------------
Tahun Jumlah perkara
2004 20.314
2005 14.366
2006 9.681
---------------------------
Sumber: Laporan Tahunan MA

Panitera MA Satri Rusad cukup puas dengan kemajuan itu. Meski demikian, dia berharap agar tunggakan perkara dapat terkikis. Audit perkara adalah salah satu kuncinya. Dengan audit itu, data mengenai keadaan dan administrasi perkara dapat diketahui secara akurat.

Selain itu, MA juga sedang membuat terobosan baru. “Nanti ada hakim khusus yang akan menangani perkara-perkara yang di bawah tahun 2003. Mereka adalah hakim agung yang rajin-rajin,” jelas Satri. Sayang, dia tak membeber siapa hakim hakim yang masuk katergori rajin itu. “Pokoknya ada deh,” seloroh Satri.

Satri juga tak merinci, 15.245 perkara yang berhasil diputus MA itu merupakan perkara lama atau baru. Bukan rahasia umum lagi, di MA masih tertumpuk perkara yang usianya bahkan belasan tahun. MA sendiri sudah berusaha membuat skala prioritas, hanya detilnya masih remang-remang.

Sementara itu, ketua komisi III DPR Trimedya Panjaitan punya catatan kritis terhadap pengikisan perkara ini. Diakui Trimedya, MA sudah cukup bagus dalam menurunkan tunggakan perkara. Namun hal itu masih perlu diimbangi kualitas putusan. “Itu sekedar statistik. Bagaimana dengan kualitas putusan yang dihasilkan itu masih perlu dipertanyakan,” ungkapnya

Salah Hitung?
Perhitungan tunggakan perkara dan beban kerja hakim agung yang dilakukan MA ternyata mengandung celah. Dari judul laporan terbaca, hitung-hitungan itu merupakan hasil audit selama setahun (2006). Namun anehnya, MA memasukkan juga periode Januari hingga Maret 2007. Artinya, hitung-hitungan MA sebenarnya bukan 12 bulan, melainkan 15 bulan, yaitu dari Januari 2006 hingga Maret 2007.

“Jika selama 15 bulan itu MA berhasil menuntaskan 15.245 perkara, berarti selama tahun 2006, sejatinya MA hanya menuntaskan sekitar 12.000 perkara,” kata Rifqi Syarief Assegaf, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).

Rifqi melihat ada yang janggal dalam rumus yang digunakan untuk menghitung beban kerja itu. “Mestinya cara menghitung beban kerja itu adalah, jumlah seluruh perkara dibagi 12 bulan, lalu dibagi dengan jumlah hakim. Dari situ diketahui berapa beban kerja setiap hakim agung selama bulan,” tandas Rifqi.

Dengan hitung-hitungan seperti itu, seorang hakim agung sejatinya punya beban untuk memutus sekitar 44 perkara per bulan, bukan 540 perkara. Dengan perhitungan yang sama, selama tahun 2006 lalu, seorang hakim agung rata-rata mampu menyelesaikan 22 perkara per bulan.

Kekhilafan perhitungan ini seakan sengaja dilakukan agar MA segera mendapatkan tambahan hakim agung. Sekalipun hal itu tidak secara eksplisit disebutkan dalam rekomendasi yang dibikin MA, setidaknya bisa terbaca dari cara MA memaparkan beban kerja seorang hakim Agung. “Bahkan MA memakai kata ‘mencengangkan’ untuk menunjukkan betapa dengan personil yang sedikit mampu menyelesaikan perkara yang banyak. Sepertinya hal itu sengaja dikonstruksi agar ada penambahan hakim agung,” ujar Rifqi.

Terlepas adanya kesalahan perhitungan ini, Bagir Manan bertekad menggenjot kinerja hakim agung yang bernaung di institusinya. Bagir memprediksi, jumlah perkara di MA makin membesar akibat kehadiran berbagai badan peradilan baru yang menempatkan MA sebagai palang pintu terakhir untuk mencari keadilan. “Perkara kepalitian, HAKI, perpajakan, PHI atau peradilan perikanan yang segera terbentuk. Sangat perlu dipertimbangkan agar tidak semua perkara tersebut bermuara ke MA,” kata Bagir.
posted by HERMANSYAH 8:31 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

MA Tolak Permohonan Uji Materiil Perda Pelacuran Tangerang

Tak ada pertimbangan hukum yang cukup memuaskan. MA menganggap Perda tersebut merupakan implementasi politik masyarakat Tangerang.

Pupus sudah harapan warga kota Tangerang yang menginginkan pembatalan Perda No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan, permohonan hak uji materiil terhadap perda tersebut harus ditolak.

Sesuai logika yang dipakai Pemerintah Kota Tangerang, MA menganggap Perda tersebut merupakan implementasi politik masyarakat Tangerang. MA juga berpendirian Perda ini merupakan produk politik yang disusun lembaga eksekutif dan legislatif Kota Tangerang.

“Hal itu bukan termasuk materi yang bisa diuji-materiilkan. Dengan demikian, permohonan tersebut harus ditolak dan pemohon harus membayar biaya perkara sejumlah Rp1 juta,” kata juru bicara MA Djoko Sarwoko, Jumat (13/4).

Putusan No. 16 P/Hum/2006 ini ditetapkan MA pada 1 Maret lalu, oleh majelis hakim yang terdiri dari Ahmad Sukardja (ketua), Imam Soebechi dan Marina Sidabutar. Majelis sepakat menolak permohonan hak uji materiil yang diajukan tiga warga Tangerang yaitu Lilis Mahmudah, Tuti Rachmawati, dan Hesti Prabowo.

Sebelumnya, pada 20 April tahun lalu, didampingi advokat publik dari Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR), ketiga warga Tangerang tersebut mengajukan permohonan uji materiil kepada MA. Mereka menyatakan Perda ini bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan di atasnya.

Dari segi waktu permohonan, MA menyatakan tidak masalah. Sebab, Perda yang mereka persoalkan tersebut ditetapkan wali kota Tangerang Wahidin Halim pada 25 November 2005. Artinya, permohonan ini diajukan dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh Perma No. 1/2004. “Belum lewat waktu 180 hari sesuai ketentuan pasal 2,” kata Djoko.

MA juga menyatakan para pemohon memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena para pemohon memang memiliki kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap keberadaan Perda ini.

Hanya, MA tak sependapat dengan pemohon yang menyebut Perda ini bertentangan dengan KUHP, UU No. 8/1981 tentang KUHAP, UU No. 7/1984 tentang Pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No.39/1999 tentang HAM, UU No. 12/2005 tentang Konvensi Hak Sipil, UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal Krusial
Pasal 4 Perda ini menjadi pasal yang paling disorot. Menurut pemohon, pasal ini terlalu multitafsir, padahal rumusan undang-undang harus jelas. Selain itu pasal ini bertentangan dengan KUHAP.

Perda Tangerang No. 8/2005
Pasal 4

(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.

(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.


Pasal 53 KUHAP menyebutkan, percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana apabla maksud akan melakukan kejahatan itu sudah nyata dengan adanya permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal yang tidak bergantung pada kehendaknya sendiri.

Bagi pemohon, perda ini melawan prinsip-prinsip KUHAP karena nyatanya razia yang dilakukan Pemkot Tangerang berupa penangkapan dan penahanan hanya didasarkan pada anggapan atau persangkaan.

Tapi pihak Wali Kota mau menolak tudingan itu. Dalam keberatannya, kuasa hukum wali kota tangerang mendalilkan, proses pembentukan Perda ini memakan waktu yang lama dan melibatkan banyak unsur. Lebih dari itu, Perda ini merupakan implementasi politik warga Tangerang. Keberatan inilah yang dikabulkan MA. Alhasil, Perda Pelarangan Pelacuran di Tangerang kini tetap diberlakukan.

Akan Di-eksminasi
Putusan MA ini dikecam Direktur LBH Jakarta Asfinawati yang juga tergabung dalam TAKDIR. Menurutnya, putusan ini menunjukkan kedangkalan cara berpikir hakim agung MA. “Mereka melupakan sosiologi hukum dan terjebak pada positivisme hukum yang sempit,” ucap Asfinawati dengan nada tinggi.

Asfinawati menyesalkan pertimbangan hukum yang dipilih MA. “Bagaimana mungkin produk hukum bisa terlepas dari produk politik? Keduanya selalu terkait,” cetusnya. Lebih jauh, dia berharap MA mau berkaca pada Mahkamah Konstitusi yang selalu membuat pertimbangan hukum yang jelas dan rinci.

Minggu besok (15/4), para pemohon akan mengadakan pertemuan di Tangerang. Mereka akan mengeluarkan sikap resmi terkait putusan MA tersebut. “Yang jelas kami nanti akan melakukan eksaminasi terhadap putusan ini,” ungkap Asfinawati.
posted by HERMANSYAH 8:01 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Psikotes Calon Hakim

Isu Suap masih Nyaring

Psikolog dan Polisi dilibatkan. Adakah jaminan suap tak terjadi?

Biro Kepegawaian Mahkamah Agung (MA), Jumat sore (20/4) nyaris tak henti-hentinya didatangi tamu. Sudah jelas terpampang di pintu masuk, tak sembarang orang boleh bertamu, apalagi sales marketing, toh peringatan itu tak mempan.

“Saya ingin tanya kapan dan di mana psikotes dilaksanakan,” ujar seorang perempuan yang tak mau menyebut namanya. Lulusan Universitas Lampung ini menjelaskan, dalam surat pengumuman yang dikirimkan panitia memang tertera waktu dan tempat psikotes, tapi tidak dijelaskan persisnya. Karena itu, bersama orang tuanya, sore itu dia menyempatkan diri mendatangi MA.

Perempuan asal Lampung itu ternyata bukan satu-satunya peserta ujian calon hakim dan CPNS yang bingung. Beberapa rekannya juga mengaku mengalami keadaan serupa. “Di surat itu hanya ada nomer ujian dan kami diharuskan membawa peralatan tulis serta foto,” kata seorang lelaki yang mengaku berasal dari Bandung.

Dalam suasana serba tak pasti, seorang pegawai biro kepegawaian MA mempersilahkan para tamu itu mengantri untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. “Mas dan Mbak, ujian besok dilaksanakan jam 8.30 tapi harus sudah siap di sini jam 7.30. Lebih jelasnya nanti setelah Asar kami pasang pengumuman di lantai dua,” tutur pegawai berjilbab ini. Namun, sampai jam empat sore, pengumuman itu ternyata belum dipampang juga.

Kondisi seperti ini tentu sangat mengecewakan. Dengan berduyun-duyunnya peserta psikotes yang mendatangi biro kepegawaian MA, peluang terjadinya penipuan atau ‘pemerasan’ tentu sangat terbuka, sekalipun sangat sulit untuk membuktikannya. Apalagi, di antara belasan ribu pendaftar, MA nanti hanya akan memilih 500 orang calon hakim dan 113 CPNS.

Soal ketidakberesan ini sebenarnya terbilang klise. Terakhir, yang terheboh, terjadi pada akhir Desember 2005 lalu di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ketika itu, Amran dan Muhammad Anasr –dua peserta ujian penerimaan CPNS dan tenaga honorer di lingkungan Pengadilan Agama—menjadi korban penipuan oleh ‘oknum’ tertentu.

Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram lantas bergegas membereskannya. Dia berkirim surat kepada pimpinan MA, termasuk kepada Kabiro Kepegawaian. MA kemudian ‘mengabadikan’ kasus itu dengan cara menempel pengumuman di pintu masuk ruang Biro Kepegawaian. Pengumuman itu sejatinya merupakan Surat Kepala Biro Kepegawaian MA selaku sekretaris I Pantia penerimaan Calon Hakim dan CPNS 2005, Anwar Usman. Surat No. UP.I/19/2006 tertanggal 20 Januari 2006 itu berkaitan dengan Penipuan dan Manipulasi dalam hal Informasi Tenaga Honorer.

“Jika ada oknum yang menawarkan jasa dan menjanjikan sesuatu dengan minta imbalan uang, hal itu tergolong penipuan dan pemerasan,” bunyi surat peringatan itu. Disebutkan juga, jika terjadi kasus seperti itu, masyarakat diharapkan melapor ke aparat penegak hukum. Pilihan lainnya, masyarakat dapat menghubungi asisten bdang pengawasan dan pembinaan MA atau kabiro kepegawaian MA.

Minim Transparansi
Dari awal, pengumuman kelulusan ini mengandung cacat. Masyarakat berharap MA bertindak transparan sehingga praktik suap dan pemerasan bisa terkurangi. Tetapi transparansi itu tinggal angan belaka. Hal itu bisa ditangkap dari media apa yang dipakai MA dalam mengumumkan kelulusan peserta ujian dan tidak dicantumkannya standar kelulusan sekaligus nilai yang diperoleh seorang peserta.

Dalam mengumumkan peserta yang lulus ujian tulis, MA ternyata menempuh cara klasik dengan berkirim surat langsung kepada mereka. Berbarengan dengan itu, sebenarnya MA sempat mengumumkan juga di website. Sayangnya, bukan di website MA, melainkan di website Badilag (Badan Peradilan Agama). Dan, yang tragis, website Badilag sekarang sudah tidak bisa diakses.

Mengenai hal ini, Djoko Upoyo Pribadi, kasubag Humas dan pengelola website MA, ‘menyalahkan’ ketua panitia penerimaan calon hakim dan CPNS, Rum Nessa. Sebelumnya, Djoko punya inisiatif agar semua pengumuman yang berkaitan dengan ujian calon hakim dan CPNS dicantumkan di website MA. “Tapi Pak Rum Nessa malah melarang. Ya sudah, saya ikut saja,” keluhnya.

MA juga tidak transparan dalam hal skoring. Peserta ujian sama sekali tidak tahu standar kelulusan yang dipatok MA. Selain itu, mereka juga ‘buta’ dengan hasil yang mereka peroleh ketika ujian.

Persoalan ini mendapat kritik tajam dari Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepensi Peradilan (LeIP) Rifqi Syarief Assegaf. “Mestinya dibuat standar yang jelas, berapa skor yang harus diperoleh peserta. Kemudian dalam pengumuman itu juga disebutkan berapa skor yang diperoleh si peserta,” ungkapnya.

Kepala Biro Kepegawaian MA, Aconur, ketika dikonfirmasi mengenai persoalan ini justru memberikan jawaban yang kurang meyakinkan. Dia menjelaskan, semua keputusan mengenai kelulusan merupakan kesepakatan seluruh panitia pelaksana penerimaan calon hakim dan CPNS. “Dari dulu pengumumannya ya begitu,” tandas Aconur.

Sementara itu, mengenai standar kelulusan, ternyata MA mematok standar tertentu. Menurut Aconur, standar itu tidak sama untuk masing-masing daerah. “Untuk daerah yang maju seperti Jawa, standarnya di atas 6. Sedangkan untuk daerah yang masih tertinggal seperti Papua, cuma di atas 4,” ujarnya. Sayang, MA tak pernah membeber standar penilaian itu kepada masyarakat.

Tak Konsisten
Dalam surat sekretaris MA selaku ketua panitia penerimaan calon hakim dan CPNS, Rum Nessa, tertanggal 26 Januari 2007 dijelaskan, peserta ujian yang lolos tes tulis harus menjalani psikotes dan wawancara. Khusus untuk peserta ujian di lingkungan peradilan agama ditambah dengan materi pembahasan kitab (fiqh). Ketika psikotes dan wawancara, seluruh peserta harus membawa Surat Keterangan Bebas Narkoba dan Rumah Sakit Pemerintah dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Dalam surat No. UP.I/015/2007 itu juga dirinci, pelaksanaan psikotes terbagi menjadi dua wilayah. Wilayah satu yang teridiri dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara ditempatkan di Jakarta. Sedangkan wilayah dua yang terdiri dari Sulawesi, Ambon, Ternate dan Jayapura ditempatkan di Makassar.

Belakangan, surat Rum Nessa itu diralat Aconur. Menurutnya, psikotes tak hanya diselenggarakan di Jakarta dan di Makassar, tapi juga di Surabaya. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan para peserta tes. “Pelaksanaan psikotes di Jakarta pada 21-22 April. Di Surabaya 23-24 April. Sedangkan di Makassar 25-26 April,” paparnya.

Terkait jumlah peserta psikotes, Aconur ternyata memberi keterangan yang berbeda. Sebelumnya, dia menyebut jumlah peserta psikotes sekitar 920 orang. Kemarin, dia menyatakan hanya 750 peserta yang menjalani psikotes.

Aconur tak merinci berapa peserta yang akan diloloskan ke tahap wawancara akhir. Tiga pekan setelah psikotes ini rampung, hal itu baru bisa diketahui.

Psikolog dan Polisi
20 psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dilibatkan MA dalam psikotes kali ini. Ke-20 psikolog itu berbagi tugas di tiga tempat yang berbeda. Di Jakarta, dengan peserta tes terbanyak, disiapkan 12 psikolog. Sementara di Surabaya dan Makassar masing-masing 4 psikolog.

“Selama sekitar 2,5 jam peserta mengikuti psikotes, dimulai dengan materi tertulis, lalu diinterview para psikolog, dan akhirnya hakim agung yang akan menginterview,” jelas Aconur.

Yang aneh, MA ternyata hanya menyiapkan dua hakim agung untuk keperluan psikotes ini. Bahauddin Qoudry akan menginterview peserta di Jakarta dan Makassar. Satu hakim agung lainnya, Iskandar Kamil, akan menginterview peserta di Surabaya. “Kemungkinan satu peserta hanya akan diinterview hakim agung selama 2 menit. Itu sudah cukup,” tandas Aconur.

Keterlibatan Fakultas Psikologi UI sebagai partner MA dalam psikotes tak pelak merupakan langkah maju. Tahun kemarin, ujian serupa bahkan tidak diisi dengan psikotes. Keterlibatan para psikolog itu sudah tentu diharapkan agar ujian calon hakim dan CPNS kali ini bersikap objektif sehingga menghasilkan hakim dan pegawai yang berkualitas dan berintegritas tinggi.

Tetapi harapan itu bisa jadi terlampau muluk. Bagaimanapun juga, hasil penilaian para psikolog itu nanti diserahkan kepada panitia. Pada akhirnya, panitialah yang punya wewenang penuh untuk menentukan siapa yang berhak lolos ke tahap ujian berikutnya, yaitu wawancara akhir.

Belum lagi, suara miring masih saja terdengar. Seorang peserta ujian bahkan sempat menuturkan telah mengalami ‘pemerasan’ oleh oknum tertentu. Sekalipun penuturan seperti itu harus terus ditelusuri kebenarannya, tetapi isu suap dalam perekrutan calon hakim dan CPNS tak sejauh ini belum juga reda.

“Kita berharap hal itu tidak ada,” cetus Aconur. Rum Nessa sendiri sejauh ini belum bisa dimintai keterangan menyangkut persoalan krusial ini. Yang jelas, agar tidak terjadi penipuan dan pemerasan, kata Aconur, MA selalu bekerja sama dengan aparat keamanan untuk mengantisipasinya. “Ada 3 polisi yang menjaga psikotes ini,” tandasnya.

Ah, 3 polisi. Bisakah mereka memelototi bilik-bilik sempit yang misterius itu? Bagaimana kalau 3 polisi itu ‘tidur’?

Labels:

posted by HERMANSYAH 7:38 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: HERMANSYAH
Home: Jakarta, Indonesia
About Me: Tulang-belulang yang kebetulan jadi tulang punggung keluarga
See my complete profile


previouspost
Tragediku
MA Matangkan Draft KHES
Pengadilan Memanggil yang Gaib via Internet
Pengadilan Agama Mulai Tinggalkan 'Gang Tikus'
Beban Kerja Hakim Agama Terlalu Berat?
Dana Prodeo Segera Dikucurkan
Lion Air Dikalahkan Bule Amerika
RUU SBSN Belum Bisa Disahkan Tahun Ini
Menguntit Jejak KHES
Akan Ada Hakim Khusus Ekonomi Syariah


myarchives
10/01/2006 - 11/01/2006
12/01/2006 - 01/01/2007
02/01/2007 - 03/01/2007
03/01/2007 - 04/01/2007
05/01/2007 - 06/01/2007
07/01/2007 - 08/01/2007
12/01/2007 - 01/01/2008
08/01/2008 - 09/01/2008


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.