Wednesday, December 26, 2007
|
Lion Air Dikalahkan Bule Amerika
|
Lion Air dinyatakan telah ingkar janji. Perusahaan ini diharuskan membayar ganti rugi sebesar AS$388 ribu.
Pada 30 November 2004, pesawat Lion Air JT 538 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sumarmo Solo. Walau sudah tiga tahun berlalu, ternyata kecelakaan yang merenggut 25 nyawa itu masih juga menyisakan persoalan hukum.
Seorang warga Amerika Serikat, Salvatore Abbanato, membawa Lion Air berseteru di meja hijau. Karena mengalami luka berat pada kecelakaan itu, ia mengajukan gugatan wanprestasi terhadap PT Lion Mentari Airlines ke PN Jakarta Pusat. Dan, Senin (17/12) lalu, majelis hakim telah menjatuhkan putusan. Di pengadilan tingkat pertama itu, Lion Air dinyatakan kalah.
Majelis yang dipimpin Makkasau menyatakan, Lion Air terbukti melakukan wanprestasi. Lion Air tidak menepati kewajiban hukumnya selaku perusahaan penerbangan. Tiket pesawat rute Jakarta-Solo yang dimiliki Abbanato, kata majelis, merupakan perjanjian yang mengikat Lion Air dengan Salvatore. “Terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau luka-luka menjadi tanggung jawab mutlak perusahaan penerbangan,” kata Makkasau.
Dasar hukum yang dipakai majelis ialah Pasal 43 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Pasal 42 PP No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Menurut majelis, seluruh bukti selama persidangan menunjukkan adanya wanprestasi itu. Bukti-bukti yang disodorkan pihak Lion Air, tandas majelis, justru mendukung argumen Abbanato. Karena itu, Lion Air harus membayar ganti rugi sebesar AS$388 ribu atau sekitar Rp3,5 miliar. Ganti rugi itu terdiri dari biaya pengobatan, penghasilan dan komisi per tahun.
Kecelakaan pesawat Lion Air JT 538 di Solo telah membuat dua kaki Abbanato luka berat. Untuk memulihkan kondisi kakinya, ia menjalani perawatan di Korea dan Amerika. Bukannya pulih, dua kaki Abbanato malah cedera permanen. Ia pun harus kehilangan pekerjaan.
Mulanya, Abbanato tidak ingin membawa persoalan ini ke meja hijau. Ia sabar menunggu janji Lion Air yang akan memberi ganti rugi. “Mereka bilang akan memberi ganti rugi, tapi tidak pernah direalisasikan,” ungkap Arham M Tamin, kuasa hukum Abbanato kepada hukumonline.
Untuk menagih janji itu, pada 24 November 2006 Abbanato berkirim surat kepada Lion Air. Untuk menindaklanjutinya kuasa hukum kedua pihak mengadakan pertemuan. “Namun permintaan kami tidak dipenuhi. Ini menunjukkan Lion Air tidak memiliki iktikad baik,” ujar Arham.
Setelah itu, Abbanato kehilangan kesabarann. Ia lantas mengajukan gugatan terhadap Lion Air. Pada 27 April 2007, gugatan itu diterima panitera dengan register No. 160/Pdt.G/2007/PN Jakpus. Di dalam berkas gugatan, kuasa hukum Abbanato mencuplik Artikel ke-3 Bagian 2 Protocol Den Haag. Di situ ditegaskan, tiket pesawat merupakan bukti perjanjian antara perusahaan penerbangan dengan penumpang.
Selebihnya, apa yang diuraikan di gugatan nyaris sama dengan putusan yang dibikin majelis hakim. “Yang berbeda, majelis tidak mengabulkan tuntutan menganai dwangsom atau uang paksa,” tandas Arham.
Meski merasa puas dengan putusan hakim, Arham sempat was-was terhadap hasil akhir sengketa ini. Sebabnya, majelis menunda pembacaan putusan hingga empat kali. Karena jadwal putusan yang tak pasti itu, Eva Nurdin –kuasa hukum Lion Air—bahkan tidak bisa hadir ke persidangan saat kliennya dinyatakan wanprestasi. Sayang, hingga kini Eva belum bisa dimintai pendapatnya soal putusan ini. Sementara itu, Arham mengaku siap bila Lion Air mengajukan banding.Labels: wanprestasi |
|
posted by HERMANSYAH
12:58 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|