Thursday, May 03, 2007
|
MA Tolak Permohonan Uji Materiil Perda Pelacuran Tangerang
|
Tak ada pertimbangan hukum yang cukup memuaskan. MA menganggap Perda tersebut merupakan implementasi politik masyarakat Tangerang.
Pupus sudah harapan warga kota Tangerang yang menginginkan pembatalan Perda No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan, permohonan hak uji materiil terhadap perda tersebut harus ditolak.
Sesuai logika yang dipakai Pemerintah Kota Tangerang, MA menganggap Perda tersebut merupakan implementasi politik masyarakat Tangerang. MA juga berpendirian Perda ini merupakan produk politik yang disusun lembaga eksekutif dan legislatif Kota Tangerang.
“Hal itu bukan termasuk materi yang bisa diuji-materiilkan. Dengan demikian, permohonan tersebut harus ditolak dan pemohon harus membayar biaya perkara sejumlah Rp1 juta,” kata juru bicara MA Djoko Sarwoko, Jumat (13/4).
Putusan No. 16 P/Hum/2006 ini ditetapkan MA pada 1 Maret lalu, oleh majelis hakim yang terdiri dari Ahmad Sukardja (ketua), Imam Soebechi dan Marina Sidabutar. Majelis sepakat menolak permohonan hak uji materiil yang diajukan tiga warga Tangerang yaitu Lilis Mahmudah, Tuti Rachmawati, dan Hesti Prabowo.
Sebelumnya, pada 20 April tahun lalu, didampingi advokat publik dari Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR), ketiga warga Tangerang tersebut mengajukan permohonan uji materiil kepada MA. Mereka menyatakan Perda ini bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan di atasnya.
Dari segi waktu permohonan, MA menyatakan tidak masalah. Sebab, Perda yang mereka persoalkan tersebut ditetapkan wali kota Tangerang Wahidin Halim pada 25 November 2005. Artinya, permohonan ini diajukan dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh Perma No. 1/2004. “Belum lewat waktu 180 hari sesuai ketentuan pasal 2,” kata Djoko.
MA juga menyatakan para pemohon memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena para pemohon memang memiliki kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap keberadaan Perda ini.
Hanya, MA tak sependapat dengan pemohon yang menyebut Perda ini bertentangan dengan KUHP, UU No. 8/1981 tentang KUHAP, UU No. 7/1984 tentang Pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No.39/1999 tentang HAM, UU No. 12/2005 tentang Konvensi Hak Sipil, UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal Krusial Pasal 4 Perda ini menjadi pasal yang paling disorot. Menurut pemohon, pasal ini terlalu multitafsir, padahal rumusan undang-undang harus jelas. Selain itu pasal ini bertentangan dengan KUHAP.
Perda Tangerang No. 8/2005 Pasal 4
(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.
(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.
Pasal 53 KUHAP menyebutkan, percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana apabla maksud akan melakukan kejahatan itu sudah nyata dengan adanya permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal yang tidak bergantung pada kehendaknya sendiri.
Bagi pemohon, perda ini melawan prinsip-prinsip KUHAP karena nyatanya razia yang dilakukan Pemkot Tangerang berupa penangkapan dan penahanan hanya didasarkan pada anggapan atau persangkaan.
Tapi pihak Wali Kota mau menolak tudingan itu. Dalam keberatannya, kuasa hukum wali kota tangerang mendalilkan, proses pembentukan Perda ini memakan waktu yang lama dan melibatkan banyak unsur. Lebih dari itu, Perda ini merupakan implementasi politik warga Tangerang. Keberatan inilah yang dikabulkan MA. Alhasil, Perda Pelarangan Pelacuran di Tangerang kini tetap diberlakukan.
Akan Di-eksminasi Putusan MA ini dikecam Direktur LBH Jakarta Asfinawati yang juga tergabung dalam TAKDIR. Menurutnya, putusan ini menunjukkan kedangkalan cara berpikir hakim agung MA. “Mereka melupakan sosiologi hukum dan terjebak pada positivisme hukum yang sempit,” ucap Asfinawati dengan nada tinggi.
Asfinawati menyesalkan pertimbangan hukum yang dipilih MA. “Bagaimana mungkin produk hukum bisa terlepas dari produk politik? Keduanya selalu terkait,” cetusnya. Lebih jauh, dia berharap MA mau berkaca pada Mahkamah Konstitusi yang selalu membuat pertimbangan hukum yang jelas dan rinci.
Minggu besok (15/4), para pemohon akan mengadakan pertemuan di Tangerang. Mereka akan mengeluarkan sikap resmi terkait putusan MA tersebut. “Yang jelas kami nanti akan melakukan eksaminasi terhadap putusan ini,” ungkap Asfinawati. |
|
posted by HERMANSYAH
8:01 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|