Thursday, May 03, 2007
|
‘Menjatuhkan’ Garuda dengan Konvensi Warsawa
|
Pengacara Suciwati menyerang balik saksi ahli yang dihadirkan Garuda. Keterangan saksi ahli di depan persidangan ternyata berbeda dengan di dalam buku yang ditulisnya.
Tak mudah memang menuntut tanggung jawab sebuah perusahaan penerbangan yang telah membikin penumpangnya meninggal dunia di pesawat. Apalagi, meninggalnya penumpang tersebut dalam kondisi tak wajar dan diduga melibatkan intelijen.
Di Indonesia, sejauh ini, belum ada peraturan perundangan yang secara eksplisit mengatur soal itu. Baik dalam UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan maupun dalam PP No 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan dalam Penerbangan, pengaturan soal itu tidak ada.
Kalaupun ada ketentuan yang agak ‘menyerempet’, ialah pasal 60 UU Penerbangan. Di situ dijelaskan, barangsiapa yang menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60 juta.
Sayang, aturan itu tak bisa diterapkan untuk sembarang kasus. Aturan itu semata-mata berkaitan dengan standar kelayakan pesawat untuk terbang. Akibatnya, tiada aturan yang menjelaskan bagaimana konsekwensinya bula ada penumpang yang meninggal di pesawat tapi bukan karena sebuah kecelakaan.
Namun di tangan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir), ketiadaan aturan itu tak membuat mereka kehilangan acuan untuk memenangkan istri (alm.) Munir, Suciwati, yang menggugat PT Garuda dan sejumlah awaknya.
Untuk meyakinkan majelis hakim bahwa Garuda telah melakukan perbuatan melawan hukum, KASUM akhirnya mengandalkan Konvensi Warsawa 1929. Konvensi ini merupakan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab pengangkut, khususnya dalam pengangkutan internasional (international carriage).
“Konvensi Warsawa berlaku di Indonesia dengan staatsblaad 1933 No. 347 yang dengan ketentuan peralihan dalam UUD 1945 tetap berlaku dan ditegaskan pula oleh UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Konvensi ini juga dicantumkan dalam tiket pesawat Garuda,” kata anggota KASUM Asfinawati, ketika menyampaikan kesimpulan dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, Kamis (12/4).
Di balik argumen KASUM itu, ternyata ada sesuatu yang ganjil. Disebut ganjil karena KASUM justru mengadopsi uraian yang disampaikan pakar hukum penerbangan Martono yang pada sidang sebelumnya dihadirkan pihak Garuda untuk menjadi saksi ahli.
Sederet argumen Martono akhirnya dipakai KASUM untuk menyanggah paparannya sendiri dalam persidangan. Ketika menjadi saksi ahli, dia menegaskan tiadanya peraturan perundangan yang mengatur soal tanggung jawab perusahaan penerbangan terhadap kelalaian yang menyebabkan meninggalnya penumpang dalam pesawat. Namun dalam bukunya berjudul Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Martono justru menyatakan, Konvensi Warsawa 1929 berlalu di Indonesia.
Pasal 1 ayat 2 Konvensi tersebut menjelaskan pengertian pengangkutan, yaitu meliputi pengangkutan di antara Negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini. Baik pengangkutan yang dilaksanakan oleh Negara maupun badan hukum publik tercakup dalam konvensi ini.
“Garuda memenuhi ketentuan mengenai jenis pesawat maupun wilayah pengangkutan internasional. Karena itu tepat kalau konvensi warsawa diterapkan dalam kasus ini,” cetus Asfinawati.
Suciwati Optimis Dalam kesimpulan gugatannya, KASUM yang mewakili Suciwati tetap mempersoalkan pemindahan kursi Munir yang tidak sesuai dengan boarding pas, adanya kru Garuda dengan surat tugas yang cacat hukum, gross negligence dalam mengawasi makanan dan minuman yang mengakibatkan kematian Munir, dan gross negligence dalam menangani sakitnya Munir.
Sementara itu, meski sempat dianggap ‘tidak masuk’ akal oleh para tergugat, ganti rugi jasa pengacara sebesar Rp1,3 miliar juga tetap dicantumkan. Ganti rugi lain yang diminta adalah kerugian material Rp4 miliar dan immaterial Rp9 miliar.
Di luar tuntutan ganti rugi, yang menarik, KASUM meminta agar Garuda membuat monumen peringatan kematian Munir di halaman kantor Garuda. Selain itu, KASUM berharap Garuda akan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat mengenai tragedi kematian Munir yang dicetak di tiket.
Dua pekan mendatang, sidang perkara ini akan diketahui hasilnya. Majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin menjadwalkan perkara ini akan diputus Kamis (26/4). Suciwati optimis gugatan ini akan dia menangkan. “Sudah ada banyak kasus seperti ini di Amerika dan Eropa,” tuturnya. |
|
posted by HERMANSYAH
11:42 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|