Thursday, May 03, 2007
|
Tunggakan Perkara di MA: Harus Dikikis agar Cepat Habis
|
Dengan hanya 46 hakim agung, MA punya beban kerja yang luar biasa. Tunggakan perkara sedikit berkurang, tapi ‘pekerjaan rumah’ masih menumpuk.
“Kerja, kerja, kerja!” Begitulah teriak Kaka Slank ketika menyanyikan sebait lagu berjudul Mars Slanker. Andai lagu itu dinyanyikan di hadapan para hakim agung di Mahkamah Agung (MA), betapa dahsyat efeknya.
Ya, hakim agung MA memang sering disorot. Mereka sudah kadung identik dengan ‘sepuh’ dan ‘lambat’. Padahal, beban kerja mereka sungguh tak ringan. MA mengklaim, per bulan setiap hakim agung punya beban untuk menyelesaikan 540 perkara.
Sampai bulan ini, hakim agung yang menghuni MA tinggal 46 orang. Berdasarkan UU No. 4/2004 tentang MA, jumlah hakim agung maksimal bisa mencapai 60 orang. Dari 46 hakim agung yang tersisa itu, beberapa di antaranya bahkan sudah uzur, lalu menyiasatinya dengan memperpanjang masa pensiun. Sementara itu, penambahan hakim agung sejauh ini belum juga terealisasi. Komisi Yudisial yang diberi mandat menyeleksi calon hakim agung nyatanya belum juga merampungkan tugasnya.
Dengan beban kerja seperti itu, hakim agung MA kewalahan menangani perkara kasasi atau Peninjauan Kembali. Sebulan saja, perkara yang terdaftar MA sekitar seribu. Tahun 2006 lalu bahkan masih tersisa 9681 perkara yang belum dituntaskan MA.
“Sisa tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan sisa tahun 2005 sebesar 14.366 perkara,” kata Ketua MA Bagir Manan saat menyampaikan Laporan Tahunan MA tahun 2006, Selasa (24/4).
MA mencatat, sisa perkara tahun 2005 berjumlah 14.366. Kemudian pada tahun 2006, perkara yang masuk ada 10.460. Dari jumlah itu, MA berhasil memutus 15.245 perkara. Dengan demikian, hingga akhir 2006 lalu, masih tersisa 9681 perkara yang belum diputus.
Jumlah tunggakan perkara MA --------------------------- Tahun Jumlah perkara 2004 20.314 2005 14.366 2006 9.681 --------------------------- Sumber: Laporan Tahunan MA
Panitera MA Satri Rusad cukup puas dengan kemajuan itu. Meski demikian, dia berharap agar tunggakan perkara dapat terkikis. Audit perkara adalah salah satu kuncinya. Dengan audit itu, data mengenai keadaan dan administrasi perkara dapat diketahui secara akurat.
Selain itu, MA juga sedang membuat terobosan baru. “Nanti ada hakim khusus yang akan menangani perkara-perkara yang di bawah tahun 2003. Mereka adalah hakim agung yang rajin-rajin,” jelas Satri. Sayang, dia tak membeber siapa hakim hakim yang masuk katergori rajin itu. “Pokoknya ada deh,” seloroh Satri.
Satri juga tak merinci, 15.245 perkara yang berhasil diputus MA itu merupakan perkara lama atau baru. Bukan rahasia umum lagi, di MA masih tertumpuk perkara yang usianya bahkan belasan tahun. MA sendiri sudah berusaha membuat skala prioritas, hanya detilnya masih remang-remang.
Sementara itu, ketua komisi III DPR Trimedya Panjaitan punya catatan kritis terhadap pengikisan perkara ini. Diakui Trimedya, MA sudah cukup bagus dalam menurunkan tunggakan perkara. Namun hal itu masih perlu diimbangi kualitas putusan. “Itu sekedar statistik. Bagaimana dengan kualitas putusan yang dihasilkan itu masih perlu dipertanyakan,” ungkapnya
Salah Hitung? Perhitungan tunggakan perkara dan beban kerja hakim agung yang dilakukan MA ternyata mengandung celah. Dari judul laporan terbaca, hitung-hitungan itu merupakan hasil audit selama setahun (2006). Namun anehnya, MA memasukkan juga periode Januari hingga Maret 2007. Artinya, hitung-hitungan MA sebenarnya bukan 12 bulan, melainkan 15 bulan, yaitu dari Januari 2006 hingga Maret 2007.
“Jika selama 15 bulan itu MA berhasil menuntaskan 15.245 perkara, berarti selama tahun 2006, sejatinya MA hanya menuntaskan sekitar 12.000 perkara,” kata Rifqi Syarief Assegaf, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Rifqi melihat ada yang janggal dalam rumus yang digunakan untuk menghitung beban kerja itu. “Mestinya cara menghitung beban kerja itu adalah, jumlah seluruh perkara dibagi 12 bulan, lalu dibagi dengan jumlah hakim. Dari situ diketahui berapa beban kerja setiap hakim agung selama bulan,” tandas Rifqi.
Dengan hitung-hitungan seperti itu, seorang hakim agung sejatinya punya beban untuk memutus sekitar 44 perkara per bulan, bukan 540 perkara. Dengan perhitungan yang sama, selama tahun 2006 lalu, seorang hakim agung rata-rata mampu menyelesaikan 22 perkara per bulan.
Kekhilafan perhitungan ini seakan sengaja dilakukan agar MA segera mendapatkan tambahan hakim agung. Sekalipun hal itu tidak secara eksplisit disebutkan dalam rekomendasi yang dibikin MA, setidaknya bisa terbaca dari cara MA memaparkan beban kerja seorang hakim Agung. “Bahkan MA memakai kata ‘mencengangkan’ untuk menunjukkan betapa dengan personil yang sedikit mampu menyelesaikan perkara yang banyak. Sepertinya hal itu sengaja dikonstruksi agar ada penambahan hakim agung,” ujar Rifqi.
Terlepas adanya kesalahan perhitungan ini, Bagir Manan bertekad menggenjot kinerja hakim agung yang bernaung di institusinya. Bagir memprediksi, jumlah perkara di MA makin membesar akibat kehadiran berbagai badan peradilan baru yang menempatkan MA sebagai palang pintu terakhir untuk mencari keadilan. “Perkara kepalitian, HAKI, perpajakan, PHI atau peradilan perikanan yang segera terbentuk. Sangat perlu dipertimbangkan agar tidak semua perkara tersebut bermuara ke MA,” kata Bagir. |
|
posted by HERMANSYAH
8:31 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|