Thursday, May 03, 2007
|
Psikotes Calon Hakim
|
Isu Suap masih Nyaring
Psikolog dan Polisi dilibatkan. Adakah jaminan suap tak terjadi?
Biro Kepegawaian Mahkamah Agung (MA), Jumat sore (20/4) nyaris tak henti-hentinya didatangi tamu. Sudah jelas terpampang di pintu masuk, tak sembarang orang boleh bertamu, apalagi sales marketing, toh peringatan itu tak mempan.
“Saya ingin tanya kapan dan di mana psikotes dilaksanakan,” ujar seorang perempuan yang tak mau menyebut namanya. Lulusan Universitas Lampung ini menjelaskan, dalam surat pengumuman yang dikirimkan panitia memang tertera waktu dan tempat psikotes, tapi tidak dijelaskan persisnya. Karena itu, bersama orang tuanya, sore itu dia menyempatkan diri mendatangi MA.
Perempuan asal Lampung itu ternyata bukan satu-satunya peserta ujian calon hakim dan CPNS yang bingung. Beberapa rekannya juga mengaku mengalami keadaan serupa. “Di surat itu hanya ada nomer ujian dan kami diharuskan membawa peralatan tulis serta foto,” kata seorang lelaki yang mengaku berasal dari Bandung.
Dalam suasana serba tak pasti, seorang pegawai biro kepegawaian MA mempersilahkan para tamu itu mengantri untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. “Mas dan Mbak, ujian besok dilaksanakan jam 8.30 tapi harus sudah siap di sini jam 7.30. Lebih jelasnya nanti setelah Asar kami pasang pengumuman di lantai dua,” tutur pegawai berjilbab ini. Namun, sampai jam empat sore, pengumuman itu ternyata belum dipampang juga.
Kondisi seperti ini tentu sangat mengecewakan. Dengan berduyun-duyunnya peserta psikotes yang mendatangi biro kepegawaian MA, peluang terjadinya penipuan atau ‘pemerasan’ tentu sangat terbuka, sekalipun sangat sulit untuk membuktikannya. Apalagi, di antara belasan ribu pendaftar, MA nanti hanya akan memilih 500 orang calon hakim dan 113 CPNS.
Soal ketidakberesan ini sebenarnya terbilang klise. Terakhir, yang terheboh, terjadi pada akhir Desember 2005 lalu di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ketika itu, Amran dan Muhammad Anasr –dua peserta ujian penerimaan CPNS dan tenaga honorer di lingkungan Pengadilan Agama—menjadi korban penipuan oleh ‘oknum’ tertentu.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram lantas bergegas membereskannya. Dia berkirim surat kepada pimpinan MA, termasuk kepada Kabiro Kepegawaian. MA kemudian ‘mengabadikan’ kasus itu dengan cara menempel pengumuman di pintu masuk ruang Biro Kepegawaian. Pengumuman itu sejatinya merupakan Surat Kepala Biro Kepegawaian MA selaku sekretaris I Pantia penerimaan Calon Hakim dan CPNS 2005, Anwar Usman. Surat No. UP.I/19/2006 tertanggal 20 Januari 2006 itu berkaitan dengan Penipuan dan Manipulasi dalam hal Informasi Tenaga Honorer.
“Jika ada oknum yang menawarkan jasa dan menjanjikan sesuatu dengan minta imbalan uang, hal itu tergolong penipuan dan pemerasan,” bunyi surat peringatan itu. Disebutkan juga, jika terjadi kasus seperti itu, masyarakat diharapkan melapor ke aparat penegak hukum. Pilihan lainnya, masyarakat dapat menghubungi asisten bdang pengawasan dan pembinaan MA atau kabiro kepegawaian MA.
Minim Transparansi Dari awal, pengumuman kelulusan ini mengandung cacat. Masyarakat berharap MA bertindak transparan sehingga praktik suap dan pemerasan bisa terkurangi. Tetapi transparansi itu tinggal angan belaka. Hal itu bisa ditangkap dari media apa yang dipakai MA dalam mengumumkan kelulusan peserta ujian dan tidak dicantumkannya standar kelulusan sekaligus nilai yang diperoleh seorang peserta.
Dalam mengumumkan peserta yang lulus ujian tulis, MA ternyata menempuh cara klasik dengan berkirim surat langsung kepada mereka. Berbarengan dengan itu, sebenarnya MA sempat mengumumkan juga di website. Sayangnya, bukan di website MA, melainkan di website Badilag (Badan Peradilan Agama). Dan, yang tragis, website Badilag sekarang sudah tidak bisa diakses.
Mengenai hal ini, Djoko Upoyo Pribadi, kasubag Humas dan pengelola website MA, ‘menyalahkan’ ketua panitia penerimaan calon hakim dan CPNS, Rum Nessa. Sebelumnya, Djoko punya inisiatif agar semua pengumuman yang berkaitan dengan ujian calon hakim dan CPNS dicantumkan di website MA. “Tapi Pak Rum Nessa malah melarang. Ya sudah, saya ikut saja,” keluhnya.
MA juga tidak transparan dalam hal skoring. Peserta ujian sama sekali tidak tahu standar kelulusan yang dipatok MA. Selain itu, mereka juga ‘buta’ dengan hasil yang mereka peroleh ketika ujian.
Persoalan ini mendapat kritik tajam dari Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepensi Peradilan (LeIP) Rifqi Syarief Assegaf. “Mestinya dibuat standar yang jelas, berapa skor yang harus diperoleh peserta. Kemudian dalam pengumuman itu juga disebutkan berapa skor yang diperoleh si peserta,” ungkapnya.
Kepala Biro Kepegawaian MA, Aconur, ketika dikonfirmasi mengenai persoalan ini justru memberikan jawaban yang kurang meyakinkan. Dia menjelaskan, semua keputusan mengenai kelulusan merupakan kesepakatan seluruh panitia pelaksana penerimaan calon hakim dan CPNS. “Dari dulu pengumumannya ya begitu,” tandas Aconur.
Sementara itu, mengenai standar kelulusan, ternyata MA mematok standar tertentu. Menurut Aconur, standar itu tidak sama untuk masing-masing daerah. “Untuk daerah yang maju seperti Jawa, standarnya di atas 6. Sedangkan untuk daerah yang masih tertinggal seperti Papua, cuma di atas 4,” ujarnya. Sayang, MA tak pernah membeber standar penilaian itu kepada masyarakat.
Tak Konsisten Dalam surat sekretaris MA selaku ketua panitia penerimaan calon hakim dan CPNS, Rum Nessa, tertanggal 26 Januari 2007 dijelaskan, peserta ujian yang lolos tes tulis harus menjalani psikotes dan wawancara. Khusus untuk peserta ujian di lingkungan peradilan agama ditambah dengan materi pembahasan kitab (fiqh). Ketika psikotes dan wawancara, seluruh peserta harus membawa Surat Keterangan Bebas Narkoba dan Rumah Sakit Pemerintah dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Dalam surat No. UP.I/015/2007 itu juga dirinci, pelaksanaan psikotes terbagi menjadi dua wilayah. Wilayah satu yang teridiri dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara ditempatkan di Jakarta. Sedangkan wilayah dua yang terdiri dari Sulawesi, Ambon, Ternate dan Jayapura ditempatkan di Makassar.
Belakangan, surat Rum Nessa itu diralat Aconur. Menurutnya, psikotes tak hanya diselenggarakan di Jakarta dan di Makassar, tapi juga di Surabaya. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan para peserta tes. “Pelaksanaan psikotes di Jakarta pada 21-22 April. Di Surabaya 23-24 April. Sedangkan di Makassar 25-26 April,” paparnya.
Terkait jumlah peserta psikotes, Aconur ternyata memberi keterangan yang berbeda. Sebelumnya, dia menyebut jumlah peserta psikotes sekitar 920 orang. Kemarin, dia menyatakan hanya 750 peserta yang menjalani psikotes.
Aconur tak merinci berapa peserta yang akan diloloskan ke tahap wawancara akhir. Tiga pekan setelah psikotes ini rampung, hal itu baru bisa diketahui.
Psikolog dan Polisi 20 psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dilibatkan MA dalam psikotes kali ini. Ke-20 psikolog itu berbagi tugas di tiga tempat yang berbeda. Di Jakarta, dengan peserta tes terbanyak, disiapkan 12 psikolog. Sementara di Surabaya dan Makassar masing-masing 4 psikolog.
“Selama sekitar 2,5 jam peserta mengikuti psikotes, dimulai dengan materi tertulis, lalu diinterview para psikolog, dan akhirnya hakim agung yang akan menginterview,” jelas Aconur.
Yang aneh, MA ternyata hanya menyiapkan dua hakim agung untuk keperluan psikotes ini. Bahauddin Qoudry akan menginterview peserta di Jakarta dan Makassar. Satu hakim agung lainnya, Iskandar Kamil, akan menginterview peserta di Surabaya. “Kemungkinan satu peserta hanya akan diinterview hakim agung selama 2 menit. Itu sudah cukup,” tandas Aconur.
Keterlibatan Fakultas Psikologi UI sebagai partner MA dalam psikotes tak pelak merupakan langkah maju. Tahun kemarin, ujian serupa bahkan tidak diisi dengan psikotes. Keterlibatan para psikolog itu sudah tentu diharapkan agar ujian calon hakim dan CPNS kali ini bersikap objektif sehingga menghasilkan hakim dan pegawai yang berkualitas dan berintegritas tinggi.
Tetapi harapan itu bisa jadi terlampau muluk. Bagaimanapun juga, hasil penilaian para psikolog itu nanti diserahkan kepada panitia. Pada akhirnya, panitialah yang punya wewenang penuh untuk menentukan siapa yang berhak lolos ke tahap ujian berikutnya, yaitu wawancara akhir.
Belum lagi, suara miring masih saja terdengar. Seorang peserta ujian bahkan sempat menuturkan telah mengalami ‘pemerasan’ oleh oknum tertentu. Sekalipun penuturan seperti itu harus terus ditelusuri kebenarannya, tetapi isu suap dalam perekrutan calon hakim dan CPNS tak sejauh ini belum juga reda.
“Kita berharap hal itu tidak ada,” cetus Aconur. Rum Nessa sendiri sejauh ini belum bisa dimintai keterangan menyangkut persoalan krusial ini. Yang jelas, agar tidak terjadi penipuan dan pemerasan, kata Aconur, MA selalu bekerja sama dengan aparat keamanan untuk mengantisipasinya. “Ada 3 polisi yang menjaga psikotes ini,” tandasnya.
Ah, 3 polisi. Bisakah mereka memelototi bilik-bilik sempit yang misterius itu? Bagaimana kalau 3 polisi itu ‘tidur’?Labels: jangan bilang siapa-siapa |
|
posted by HERMANSYAH
7:38 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|