Friday, May 11, 2007
|
Tiga Tahun Satu Atap
|
Peradilan Agama Masih Hadapi Masa Transisi Anggaran Peradilan Agama meningkat tajam. Urusan administrasi juga makin baik. Sayang, kepegawaian masih jadi masalah.
Tigapuluh Juni 2004 lalu, Peradilan Agama (PA) resmi berada di bawah naungan Mahkamah Agung (MA). Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang semula di bawah Departemen Agama (Depag) pun berubah menjadi Ditjen Badan Peradilan Agama (Badilag) di bawah MA. Perubahan itu berdasarkan Pasal 42 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 2 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke MA.
Kini, setelah tiga tahun seatap dengan peradilan lainnya di bawah MA, PA mengalami banyak kemajuan. Namun demikian, sederet masalah juga masih menghimpit. “Sekarang, terus terang saja, meskipun sudah tiga tahun tetapi masih dalam masa transisi. Ada banyak hal yang masih harus dibenahi,” kata Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) Wahyu Widiana, di Jakarta, pekan lalu. Masalah kepegawaian, kata Wahyu, menjadi prioritas pembenahan Badilag. Wahyu menjelaskan, di tingkat Direktorat Jenderal atau organisasi kesekretariatan, belum ada pegawai eselon IV. “Ini mempengaruhi kinerja, sebab eselon IV ini ujung tombak,” tegasnya. Sesuai Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 2005, Badilag bertugas membantu Sekretaris MA dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tata laksana perkara dari lingkungan PA. Untuk urusan teknis yudisial PA, MA memiliki institusi bernama Urusan Lingkungan Perdata Agama (Uldilag). Sejak 1946, Uldilag di bawah MA, dimana sebelumnya berada dalam naungan Departemen Kehakiman. Setelah berada di bawah MA, perubahan signifikan terjadi pada sektor anggaran. Pada 2004, ketika PA masih di bawah Depag, anggaran yang dialokasikan pemerintah hanya Rp51 M. Kini, anggaran PA melambung menjadi lebih dari Rp300 M. Jika dikalkulasi, anggaran PA naik enam kali lipat.
Sumber: Dirjen Badilag (diolah). Menurut Wahyu, kenaikan itu bukan atas usul Badilag, melainkan atas inisiatif MA. “Badilag hanya menyiapkan data saja. Yang menyetujui adalah pimpinan MA setelah bicara dengan DPR,” ungkapnya. Ada tiga komponen anggaran dalam PA, yaitu belanja modal, belanja barang, dan belanja pegawai. Untuk 2006, misalnya, Rp62 M dialokasikan untuk belanja barang, sedangkan Rp172 M untuk belanja modal. “Kalau belanja pegawai, sama saja dengan instansi lain,” kata Wahyu. Kenaikan anggaran ini berimbas pada peningkatan sarana dan prasarana PA. Hanya, soal pengadaan sarana dan prasarana ini bukan wewenang Badilag, tapi menjadi garapan Biro Perencanaan dan Biro Perlengkapan Badan Urusan Administrasi MA. Meski demikian, kata Wahyu, anggaran Badilag diperuntukkan juga untuk membeli tanah atau membangun gedung PA. Makin PD dan tak mau 'gaptek' Bergesernya posisi PA dari Depag ke MA berimbas juga pada kewenangan PA. Hal itu terbaca dari disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 yang menggantikan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. “Kita tak tahu persis apakah itu pengaruh satu atap atau tidak. Yang jelas, UU itu ada setelah satu atap,” jelas Wahyu. Perubahan drastis tentu saja berkaitan dengan kompetensi PA dalam menangani perkara ekonomi syariah, dari sebelumnya yang hanya berkutat di wilayah kawin-cerai. Banyak kalangan memang masih meragukan kemampuan hakim PA. Tapi, “Saya yakin mereka mampu sebab kalau mereka diberi kepercayaan, maka akan belajar dengan bagus. Sekarang ada lebih dari 500 hakim PA berpendidikan S-2, dan banyak yang mengambil hukum bisnis,” imbuh Wahyu. Kini penghargaan masyarakat terhadap hakim PA juga membaik. “Kalau dulu, pandangan masyarakat, PA itu sama dengan KUA karena di bawah Depag. Sekarang pandangan masyarakat dan instansi, hakim agama sama dengan hakim umum,” kata Wahyu. Hakim agama pun makin PD alias percaya diri. Dengan anggaran yang memadai, PA juga bergiat diri memanfaatkan Teknologi Informasi (TI). Sebenarnya, ketika masih di bawah Depag, soal TI ini sudah digalakkan. Namun anggaran dan SDM masih jadi kendala. “Kami tidak mau pegawai atau hakim PA gaptek (gagap teknologi—red),” tandas Wahyu. Untuk itu, Badilag kini sudah membangun website yang berisi banyak hal berkaitan dengan PA: dari berita aktual hingga panggilan sidang secara online. Perkembangan mutakhir, dengan restu Ketua Muda Uldilag Andi Syamsu Alam, Badilag menyurati seluruh Ketua PA agar mengirim data soal jadwal sidang, panggilan sidang (relaas), dan rekap perkara. Data-data itu harus dikirim per bulan dan akan dipublikasikan melalui website Badilag. Banyak tantangan Perkembangan baru PA pasca seatap di bawah MA diapresiasi positif oleh Rifqi Sjarief Assegaf. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini menyatakan, dalam banyak hal PA memberi kontribusi yang signifikan terhadap kemudahan access to justice. Pemanfaatan TI merupakan contoh konkritnya. Rifqi juga salut akan budaya egaliter di lingkungan PA. Sekalipun secara kepegawaian terdapat hirarki, namun suasana kesederajatan di PA masih sangat terasa. “PA juga tergolong efisien dalam memanfaatkan anggarannya,” tambah Rifqi. Kurangnya pegawai eselon IV, menurut Rifqi, bukanlah masalah yang hanya melilit PA. Lingkungan peradilan lainnya juga menghadapi masalah yang sama. “Karena memang masih dalam masa transisi,” ujarnya. Menurut Rifqi, selama masa transisi ini PA dihadapkan pada banyak tantangan. Tantangan utama menyangkut anggaran yang makin meningkat. Rifqi mewanti-wanti agar pegawai dan hakim PA menjaga integritasnya. Sebab bukan tak mungkin, mereka tergoda untuk menyelewengkan anggaran. Pola pikir sebagian besar hakim PA juga harus segera diubah. Rifqi mencontohkan, dalam menangani perkara perkawinan, hakim PA masih sering bias jender. |
|
posted by HERMANSYAH
9:19 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|