Saturday, July 21, 2007
|
DSN-MUI Tolak Komite Perbankan Syariah
|
Komite Perbankan Syariah dianggap tidak kompeten. Sistem yang ada sekarang dinilai sudah efektif.
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menegaskan penolakannya terhadap rencana pembentukan Komite Perbankan Syariah (KPS). “Itu sudah kita tolak. BI sendiri tidak menghendaki adanya komite itu,” kata Ketua DSN MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (26/6). KPS merupakan lembaga yang bakal didirikan berdasarkan RUU Perbankan Syariah. Meski tak secara eksplisit, Pasal 32 RUU tersebut menggadang-gadang LPS dapat mengambil alih peran DSN-MUI. Kelak, KPS bertugas mengeluarkan ketetapan atau fatwa mengenai produk dan jasa bank syariah serta unit usaha syariah pada bank konvensional. Menurut Ma’ruf, KPS tidak bisa menggantikan posisi DSN-MUI dalam menetapkan fatwa. “Membuat fatwa itu tidak sama dengan membuat peraturan. Pembuat fatwa itu harus orang yang memiliki kompetensi. Masalahnya dilihat, kitabnya dilihat. Ini berhubungan dengan hukum Islam,” tandas Ma’ruf. KPS sebenarnya tak menafikan sama sekali keberadaan MUI. Pasal 33 RUU Perbankan Syariah menyatakan, KPS bernggotakan tujuh orang. Tiga orang di antaranya atas usulan MUI, sedangkan empat sisanya atas usulan BI. Empat orang usulan BI ini dua di antaranya berasal dari internal BI, dan dua lainnya dari eksternal BI. Namun, Ma’ruf keberatan dengan komposisi itu. “Meskipun MUI dimasukkan, tapi kan hanya perwakilan, sehingga komite itu tidak cukup layak untuk punya kewenangan atau kompetensi untuk menetapkan sebuah fatwa,” tandasnya. Tugas yang mungkin dibebankan kepada komite itu, kata Ma’ruf, hanyalah memproses fatwa DSN-MUI untuk menjadi peraturan BI. “Itu mungkin. Tapi namanya bukan komite fatwa. Cuma, berarti ada lembaga yang sebenarnya cukup oleh BI saja. Padahal, BI cukup meminta saja fatwa dari kita. Jadi lembaga itu nanti menjadi lembaga yang tidak diperlukan,” tambahnya. Kemungkinan lain, BI membentuk komite syariah dan anggotanya berasal dari DSN-MUI. “Semacam konsultan saja, apakah ini sesuai dengan syariah atau tidak. Saya kira itu yang mungkin,” kata Ma’ruf. Meski demikian, ia menegaskan sistem yang dipraktikkan sekarang sudah tepat dan efektif. Serupa tapi Tak Sama Sekilas, DSN-MUI dan KPS punya posisi yang sama. Padahal, keduanya punya perbedaan yang cukup mencolok.
Sumber: RUU Perbankan Syariah dan Profil DSN-MUI DSN dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah yang berkaitan dengan aktifitas Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip syariah dalam bentuk fatwa. Fatwa tersebut lantas dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi LKS. Melalui Dewan Pengawas Syariah, DSN melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syariah dalam sistem dan manajemen LKS.
Struktur organisasi DSN terdiri dari Pengurus Pleno (56 Anggota) dan Badan Pelaksana Harian (17 orang anggota). Ketua DSN-MUI dijabat Ex Officio Ketua Umum MUI dan sekretaris DSN-MUI dijabat Ex Officio Sekretaris Umum MUI. Anggota DSN berasal dari banyak kalangan. Selain dari pengurus MUI, juga dari Komisi Fatwa MUI, ormas Islam, perguruan tinggi Islam, pesantren dan para praktisi perekonomian syariah. Namun tak gampang menjadi anggota DSN. Mereka harus memenuhi kriteria tertentu dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. Dan, keanggotaan baru DSN ditetapkan oleh Rapat Pleno DSN-MUI. Hampir mirip dengan DSN, tugas KPS adalah mengeluarkan ketetapan atau opini mengenai produk dan jasa bank syariah serta unit usaha syariah pada bank konvensional. Hanya, KPS berada di bawah Direktorat Perbankan Syariah BI. Anggota KPS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan MUI dan atau BI. Mereka diangkat untuk masa jabatan tiga tahun dan dapat diangkat sekali lagi pada masa jabatan berikutnya. Ketua KPS dipilih dari anggota KPS sendiri untuk masa tugas minimal setahun. Tak mudah untuk menjadi anggota KPS. Sebab, mereka dilarang menjadi pemegang saham pengendali bank syariah atau bekerja sebagai komisaris, direksi, dewan pengawas syariah, dan pegawai dari bank syariah atau unit usaha syariah. KPS bakal berkedudukan di Jakarta. Namun tugas mereka dibantu oleh direktorat atau unit kerja yang membidangi perbankan syariah dalam organisasi BI. Soal biaya KPS, seluruhnya dibebankan kepada anggaran operasional BI. Untuk urusan pembiayaan ini nanti akan diatur lebih jauh dalam Peraturan BI. Jaga Independensi Direktur Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) Nadratuzzaman Hosen bisa memahami sikap DSN-MUI yang menolak kehadiran KPS. Menurutnya, komite fatwa akan lebih independen jika berada di bawah MUI. “Jika berada di bawah BI, dikhawatirkan akan sarat dengan kepentingan-kepentingan yang justru akan menghilangkan sisi-sisi dari tujuan syariahnya,” tandas Nadra. Selain itu, menurut Nadra, tak sembarang ulama bisa mengeluarkan fatwa. Seorang ahli fatwa harus mendalami keilmuan tentang Al-Qur’an dan asbab nuzul, Hadits dan asbab wurud, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh serta filosofi dari ilmu-ilmu syariah tersebut. “Hal ini yang menjadi kekurangan tersendiri jika komite fatwa berada di bawah BI,” ungkapnya. Meski demikian, bukan berarti KPS tidak memiliki sisi positif. Menurut Nadra, keberadaan komite itu akan mempermudah BI. Di antarnya, BI dapat menyesuaikan bentuk-bentuk fatwa yang harus dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu, imbuh Nadra, fatwa yang dikeluarkan oleh KPS secara langsung akan menjadi Peraturan BI. “Secara legal fatwa tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi setiap bank syariah,” tuturnya
|
|
posted by HERMANSYAH
8:07 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|