Friday, March 02, 2007
|
Kompas Digugat Rp500 Miliar
|
Kompas beserta pemimpin umum dan pemimpin redaksinya dinilai anti serikat pekerja (Anti Union). Inilah gugatan Anti Union pertama di negeri ini.
Sekali bendera dikibarkan, pantang untuk diturunkan. Serupa itulah tekad yang mendiami dada mantan wartawan Kompas Bambang Wisudo. Dengan mengusung bala bantuan dari sejumlah LSM yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat pekerja(KOMPAS), Rabu siang (18/4), Bambang mendatangi PN Jakarta Pusat.
Kedatangan Bambang tak lain untuk melayangkan gugatan perdata kepada Kompas—perusahaan yang telah mempekerjakannya selama 16 tahun. Sekitar pukul 10.45 WIB, gugatan itu resmi didaftarkan dengan register No. 149/Pdt.G/2007.
PT Kompas Media Nusantara (PT KMN) selaku penerbit harian Kompas menjadi tergugat utama. Tergugat lainnya adalah Jakob Oetama selaku Pemimpin Umum Harian Kompas dan Suryopratomo selaku Pemimpin Redaksi Harian Kompas.
Bambang dan tim advokasinya menamai gugatan itu sebagai gugatan Anti Serikat Pekerja (Anti Union). Disebut demikian karena mereka berpendirian telah terjadi tindakan penghalang-halangan kegiatan Bambang yang tergabung dalam Perkumpulan Karyawan Kompas oleh PT KMN, Jakob Oetama dan Suryopratomo. Tindakan tersebut, bagi Bambang, merupakan pelanggaran terhadap pasal 28 UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pasal 28 UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara: a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Di berkas gugatan yang diterima hukumonline dijelaskan, kesalahan Suryopratomo adalah sengaja melakukan intimidasi, mutasi dan PHK terhadap Bambang. Setidaknya, dia mengetahui dan menghendaki tindakannya. Sementara itu, Jakob Oetama bersalah karena membiarkan perbuatan melawan hukum itu terjadi.
Tim advokasi Bambang mendasarkan gugatannya pada pasal 1367c KUHPerdata. Dalam pasal itu dinyatakan, “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”
Tanpa ragu, Bambang menuntut ganti rugi Rp500 miliar. Angka sebesar itu untuk ganti rugi immaterial. Sedangkan ganti rugi material justru hanya sebesar Rp7,8 juta. “Ganti rugi itu nanti dialokasikan untuk pengembangan SDM karyawan Kompas dan beasiswa untuk menjamin karyawan kompas yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke Perguruan Tinggi. Selain itu juga untuk pengembangan SDM serikat pekerja dan organisasi advokasi serikat pekerja di tanah air,” kata Bambang.
Selain menuntut ganti rugi, Bambang juga meminta para tergugat memulihkan kembali statusnya seperti sedia kala sebagai wartawan untuk posisi reporter utama bidang pendidikan. Bambang juga menuntut agar pada tergugat meminta maaf di sejumlah media massa, baik cetak maupun elektronik. Pada intinya, permintaan maaf itu berisi pengakuan bersalah telah melakukan kekerasan, perampasan kemerdekaan, dan pemecatan secara sepihak kepada Bambang.
Diselesaikan ‘Secara Adat’? Jika segalanya berjalan lancar, dua pekan mendatang gugatan ini akan mulai disidangkan. Baik pihak Bambang maupun Kompas sudah siap beradu argumen dan bukti di persidangan. “Kami sudah tahu adanya gugatan ini. Tentu kami sudah siap,” kata Untung Herminanto, Kepala Bidang Hukum dan Hubungan Industrial Kelompok Kompas Gramedia (KKG).
Lantas, tidak terlalu berlebihan-kah tuntutan ganti rugi Rp500 miliar itu? Bambang sendiri yakin tidak berlebihan, sebab tuntutan sejumlah itu tak akan membuat bangkrut Kompas. “Jumlah itu setara dengan keuntungan Kompas selama satu tahun,” ujar Bambang.
Namun Untung berpendapat lain. Meski diakuinya jumlah ganti rugi pada dasarnya unlimited, ganti rugi yang diminta Bambang menurutnya di luar kewajaran. “Jumlah itu tidak realistis. Belum pernah KKG digugat segitu,” ungkapnya.
Meski demikian, Untung merasa tak perlu memusingkan soal angka. “Yang penting pokok perkara. Soal angka, itu persoalan kedua,” ujarnya sembari menambahkan belum membaca berkas gugatan Bambang.
Pada prinsipnya, imbuh Untung, pihak Kompas akan menempuh jalur musyawarah. Biarpun perkara ini sudah digelar di meja hijau, musyawarah tetap akan ditempuhnya. “Hal itu tidak lain untuk mendapatkan win-win solution,” lanjut Untung.
KKG memang dikenal jago dalam meredam gugatan karyawannya. Contoh mutakhir yang belum pudar dari ingatan adalah kasus wartawan Warta Kota (grup KKG) Edy Haryadi, Juli 2003 lalu. Gugatannya kepada PT KMN berujung dengan ‘adem-ayem’ hanya dengan mediasi.
Penyelesaian ‘secara adat’ itulah yang tampaknya bakal dipilih Kompas. Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Agung Adiprasetyo sudah memberikan sinyal itu. “Kami ingin selesai dengan baik-baik,” ujarnya ketika ditemui dalam sebuah acara di Plaza Bank Mandiri pekan silam (10/4).
Bambang sendiri berharap tuntutannya bakal dipenuhi. Bagi dia, gugatan ini punya makna bagi perjuangan buruh, sebab gugatan ini merupakan gugatan Anti Union pertama di Indonesia. Meski begitu, dia tak menutup diri jika kelak pihak Kompas berusaha menyelesaikan perkara ini melalui musyawarah. |
|
posted by HERMANSYAH
11:16 PM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|