Friday, March 02, 2007
|
Digugat Jamaah Haji, Menteri Agama Pilih Berdamai
|
Penggugat adalah satu-satunya jamaah haji yang menolak diberi ganti rugi sewaktu terjadi tragedi kelaparan di Tanah Suci.
Dalam kondisi kelaparan, orang sering menghalalkan segala cara. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Boyamin Saiman. Jamaah haji kloter 22 embarkasi Solo yang menjadi korban tragedi kelaparan di Tanah Suci beberapa waktu lalu ini lebih memilih cara legal-formal dengan melayangkan gugatan perdata kepada menteri Agama Maftuh Basyuni.
Sejak pertengahan Maret lalu, gugatan Boyamin dengan register No. 70/Pdt.G/2007 disidangkan di PN Jakarta Pusat. Dia tak memakai jasa pengacara, tapi bertindak atas nama dirinya sendiri. “Saya seorang advokat. Saya juga punya legal standing untuk menggugat,” tuturnya.
Tapi bukannya berlanjut hingga pembuktian dan putusan, Kamis kemarin (19/4), gugatan itu terhenti hanya dalam proses mediasi. Boyamin dan kuasa hukum Menag Nandi Naksabandi sepakat untuk menghentikan pertikaian.
Dalam perjanjian perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak disebutkan, Menag akan mengupayakan tragedi serupa tidak terulang. Menag juga akan meminta maaf kepada masyarakat di berbagai kesempatan. Di samping itu, Menag akan membayar uang ganti rugi kepada Boyamin sejumlah SAR 300 atau sekitar Rp750.000.
“Dengan adanya perdamaian berarti perkara ini sudah selesai,” tandas ketua majelis hakim Makkasau sebelum mengetuk palu.
Tuntutan Boyamin sejatinya cukup sederhana. Sekjen Masyarakat Anti Korupsi Jawa Tengah ini ingin agar penyelenggaraan haji di masa datang mengalami perbaikan. “Termasuk dalam hal proses pengadaan katering. Dulu tidak ada proses tender. Selain melanggar undang-undang, hal itu terbukti membuat jamaah haji kelaparan ketika di Arafah dan Mina,” ujarnya.
Dirjen penyelenggaraan Haji dan Umroh, tandas Boyamin, sudah menggariskan bahwa pengadaan katering selama di embarkasi haji harus sesuai Perpres No. 32/2005 tentang Perubahan Kedua atas Kepres No. 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Ketentuan itu ternyata hanya berlaku di atas kertas. Di lapangan, Boyamin justru menjumpai fakta yang menyedihkan. Perusahaan Ana Development yang ditunjuk Menag, tandas Boyamin, ternyata gagal menyuplai makanan dengan baik. “Akibatnya, ribuan jamaah ketika di Arafah, Muzdalifah dan Mina mengalami kelaparan,” cetusnya.
Meski sangat kecewa dengan tragedi kelaparan itu, Boyamin tak ingin meminta ganti rugi yang bombastis layaknya gugatan yang ditujukan kepada pemerintah atau pejabat negara. “Cukup ganti rugi materiil sebesar 600 real atau Rp1,5 juta. Tidak perlu immateriil. Yang penting haji saya mabrur,” ungkapnya. Pemberian ganti rugi itupun tak akan dinikmatinya, melainkan akan disalurkan untuk Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah (Bazis) Nasional.
Sewaktu masih berada di Tanah Suci, Boyamin sebenarnya sudah pernah mendapat jatah ganti rugi. “Besarnya 300 real atau Rp 750.000. Tapi saya tolak. Bahkan saya satu-satunya jamaah yang menolak, lalu mengajukan gugatan,” cerita Boyamin.
Penolakan itu didasari pada tidak jelasnya sumber dana yang digunakan Departemen Agama untuk membayar ganti rugi. Boyamin khawatir uang itu berasal dari Dana Abadi Umat atau APBN.
Soal pembayaran ganti rugi, Nandi Naksabandi menganut prinsip equal threatment. Angka SAR 300 itu disamakan dengan pembayaran ganti rugi kepada jamaah lain. Karena itu, pihaknya tak sepakat dengan tuntutan Boyamin yang meminta SAR 600.
Meski demikian, Boyamin tetap legawa. Dia merasa sudah mengantongi ganti rugi sebesar SAR 600. “Yang 300 real diambil oleh ketua kloter sewaktu di Tanah Suci, dan yang 300 real lainnya saya salurkan ke Bazis,” ujarnya.
Lebih dari itu, Boyamin berharap pemerintah segera membentuk badan khusus yang menangani pelaksanaan ibahah haji. Badan itu harus permanen dan lebih jelas sistem pertanggungjawabannya. |
|
posted by HERMANSYAH
11:16 PM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|