JURNALIS KIDAL
Membuat dan Mencatat Sejarah
 
Thursday, October 26, 2006
Lamaran Nggak Pakai Lama


Setelah mengebut sepeda motor sekitar 3 jam dari Tuban, 30 Agustus lalu, sesampai di Surabaya aku langsung menuju warnet. Maklum saja, selama 2 minggu berada di rumah, aku tidak sempat mengakses internet. Aku merasa ketinggalan informasi. Apalagi aku terbiasa berdiskusi di mailing list bersama kawan-kawan seorganisasi.

Yang kubuka kali pertama adalah e-mail. Kebetulan aku punya tiga alamat e-mail di yahoo, jadi harus kubuka satu per satu. Dan yang kubuka pertama adalah e-mailku yang beralamat di nistroy_82@yahoo.com. Itulah alamat e-mailku yang usianya paling tua.



Ada sekitar 40 surat di inbox-ku yang belum sempat kubaca. Kupilih surat-surat yang menurutku penting saja, termasuk kiriman berita dari situs hukumonline. Sekedar informasi, aku sudah berlangganan berita dari hukumonline sejak awal 2005 ketika aku masih sibuk menyelesaikan skripsi.

Rabu sore itu, kutemukan goodnews dari hukumonline. Goodnews tersebut berupa lowongan kerja di situs yang mengkhususkan diri memberitakan persoalan-persoalan hukum itu. Ada beberapa posisi yang ditawarkan, tetapi akhirnya kupilih posisi Calon Reporter untuk Edisi Bahasa Indonesia dengan pertimbangan persyaratan yang dicantumkan di situ bisa kupenuhi.

Yang diminta ternyata sederhana saja: Surat lamaran kerja, curriculum vitae dan contoh tulisan. Kebetulan, aku telah menyimpan data-data itu di e-mail. Dengan mengedit ala kadarnya, segera kukirim lamaran kerjaku. Tentu dengan terlebih dulu membaca bismillah.

Aku cukup menunggu dua hari saja untuk mengetahui respons pihak hukumonline terhadap surat lamaran kerja yang kukirimkan. Bisa jadi, ini karena aku mengirim lamaran satu hari menjelang penutupan.

“Halo. Ini dengan Mas Hermansyah?” Suara Mbak Eni, sekretaris redaksi hukumonline, kudengar dari gagang HP-ku, Jumat sore.

“Iya, benar,” jawabku sambil lesehan di kontarakan.

Mbak Eni lalu mengatakan bahwa surat lamaranku sudah diterima dan dipelajari tim rekrutmen hukumonline. Selanjutnya pada hari senin jam 14 aku diminta datang ke kantor hukumonline untuk menjalani wawancara.

Kepada Mbak Eni, kusampaikan rasa terima kasihku dan aku berjanji akan berusaha datang ke Jakarta hari Senin.

Tetapi sebuah masalah datang dan menghentikan niatku pergi ke Jakarta. Kondisi finansialku sedang sial. Cari pinjaman ke sana-sini tidak berhasil. Padahal aku cuma butuh uang 200 ribu untung ongkos pergi-pulang dengan naik KA kelas ekonomi. Karena itu, di hari Senin itu aku hanya bisa meratapi nasib.

“Kenapa kemarin Mas Hermansyah tidak bisa datang?” suara Mbak Eni kembali terdengar di gagang HP-ku Selasa siang.

“Mohon maaf. Sebenarnya saya berniat memenuhi panggilan wawancara. Tetapi ada kendala,” jawabku.

“Bagaimana kalau wawancaranya dijadwal ulang? Hari Rabu besok bisa?”

Sebuah tawaran yang menarik. Tapi, aku tak dapat memastikan apakah hari Rabu sudah punya biaya untuk ke Jakarta atau belum.

“Kalau hari Rabu mungkin saya tidak bisa. Bagaimana kalau Senin depan saja?,” aku mencoba bernegosiasi.

“Baiklah. Hari Senin jam berapa?”

“Jam 14. Seperti jadwal kemarin.”

Mbak Eni mengiyakan permintaanku.


$$$


Minggu sore (10/09) aku pergi ke stasiun Pasar Turi setelah memperoleh biaya transportasi dari seorang kawan dekat. Yang kunaiki adalah KA Kertajaya. Sebuah kereta kelas ekonomi yang berangkat dari stasiun Pasar Turi Surabaya pukul 03 sore dan sampai di stasiun Pasar Senen Jakarta pukul 07 pagi.

Sesampai di Pasar Senen, aku terpaksa bengong. Aku menjalani wawancara jam 14. Berarti aku harus menunggu sekitar tujuh jam. Dengan kondisi badan yang penuh pegal karena tak sempat tidur di KA, aku paksakan diri untuk membaca di sebuah bangku di dekat musholla stasiun Pasar Senen.

Selain koran, yang kubaca adalah kumpulan berita dari hukumonline edisi sepekan terakhir. Aku sengaja mem-print-nya untuk aku jadikan bekal wawancara. Aku punya keyakinan, wawancara nanti sedikit banyak akan bersangkutan dengan berita-berita yang telah aku print itu.

Dan ternyata keyakinanku benar. Tepat pukul 14, aku diwawancarai Pak yasin, redaktur pelaksana hukumonline. Dalam wawancara yang berlangsung sekitar 20 menit itu, Pak yasin banyak bertanya soal perkembangan hukum aktual.

“Apa yang Anda ketahui tentang UU Peradilan Agama yang baru?”, tanya Pak Yasin.

“UU tersebut pada dasarnya tak berbeda dengan UU Peradilan Agama yang lama, tetapi ada penambahan yang sangat urgen, yaitu mengenai ekonomi syari’ah. Sekarang pengadilan agama memiliki wewenang untuk menangani sengketa mengenai ekonomi syari’ah,” jawabku.

“Menurut Anda, apakah pengadilan agama mampu menjalankan wewenang itu?”

“Saya tidak tahu persis. Yang jelas, kalau melihat SDM yang ada sekarang, kemampuan pengadilan agama memang patut dipertanyakan.”

Itulah sepenggal wawancara Pak Yasin denganku. Jujur saja, jawabanku atas pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan Pak Yasin banyak yang kurang berbobot, meskipun tak bisa disebut asal-asalan. Semua karena memang aku tidak benar-benar mempersiapkan diri untuk wawancara ini. Aku hanya mengandalkan berita-berita hukumonline edisi sepekan terakhir!

Anehnya, Pak Yasin terlihat cukup puas dengan jawaban-jawaban yang kulontarkan. Dan, dari pernyataannya bisa kutangkap, peluangku bekerja di hukumonline cukup besar.

“Seharusnya yang mewawancarai Anda ada tiga orang. Selain saya adalah pemimpin redaksi Pak Ibrahim Assegaf dan sekretaris redaksi Mbak Eni Setiati. Tetapi mereka sedang ada acara. Hasil wawancara ini akan saya sampaikan kepada mereka. Sekitar seminggu lagi Mas Herman akan kami beritahu apakah diterima bekerja di hukumonline atau tidak,” kata Pak Yasin memungkasi wawancara.

Tak perlu menghamburkan waktu, seusai wawancara itu aku langsung bertolak ke stasiun Pasar Senen. Untuk apa lagi kalau bukan mengejar kereta kelas ekonomi. Syukurlah, sampai di sana kereta belum berangkat. Terlambat 10 menit saja, aku bisa gigit jari!

Selasa pagi aku sampai di Surabaya. Sebenarnya kedua bola mataku sudah sangat berat untuk terjaga, tetapi sejumlah kawanku malah mengajakku ngopi di warkop. Baru setelah Dhuhur, aku bisa tertidur.

Namun tidurku tak bisa pulas. Sekitar pukul 15, HP-ku berdering dan aku mesti bangun untuk menerima telpon. Dengan pandangan kabur, kulihat nomor yang memanggilku itu berkode 021. Berarti dari Jakarta.

“Halo. Saya Eni dari hukumonline. Bisa bicara dengan Mas Herman?” Begitulah suara dari gagang HP-ku yang sedang aku charge.

“Iya, saya Herman. Ada apa, Mbak Eni?”

“Mas Herman Rabu besok diharap ke kantor hukumonline lagi untuk menjalani wawancara tahap kedua dengan Pemred.”

Aku kaget luar biasa. Apa Mbak Eni tidak salah bicara?, pikirku.

“Begini Mbak Eni. Kemarin Pak Yasin bilang bahwa saya tidak perlu wawancara lagi. Saya tinggal menunggu pengumuman saja: apakah nantinya saya diterima atau tidak.”

“O begitu. Sebentar ya, saya akan bicara dulu dengan pak Ibrahim.”

Komunikasi terputus, tetapi tak lama kemudian Mbak Eni kembali menyambungnya.

“Begini Mas herman. Mungkin nanti atau besok Pak Ibrahim akan menghubungi Mas herman. Apakah akan ada wawancara tahap kedua atau tidak, Pak Ibrahim yang akan memutuskan.”

“Terima kasih kalau bagitu.”


$$$


Hingga hari Kamis (14/09), aku belum juga menerima telpon dari Pak Ibrahim. Jum’at pagi akhirnya kuputuskan untuk mengirim e-mail kepada Pak Yasin. Melalui e-mail itu, kunyatakan keberatanku kalau harus ke kantor hukumonline lagi. Aku berpegang pada apa yang dikatakan Pak Yasin sendiri. Karena itu, kalaupun harus menjalani wawancara tahap kedua, aku harap wawancara itu dilakukan jarak jauh via telpon. Aku juga meminta Pak Yasin agar bersedia menyampaikan e-mail ini kepada Pak Ibrahim dan Mbak Eni untuk didiskusikan lebih lanjut.

Jum’at sore, e-mailku mendapat respon. Mbak Eni menelponku lagi. Karena sedang berada di kendaraan, aku tak sempat mengetahui kalau mendapat telpon darinya. Akhirnya kuputuskan menelpon balik.

Lewat gagang telpon, Mbak Eni menyatakan bahwa Pak Ibrahim bersedia mewawancaraiku jarak jauh. Waktunya hari itu juga. Aku diminta menyiapkan diri untuk wawancara tahap kedua.

Aku sedang berada di sekretariat LKAS (Lembaga Kajian Agama dan Sosial) ketika akhirnya Pak Ibrahim menelponku. Di tempat inilah hari-hariku setelah wisuda kuhabiskan. Selain berdiskusi dan menulis, tentu saja menyiapkan dan menyelesaikan agenda kerja organisasi.

Percakapan dengan Pak Ibrahim lebih mirip diskusi ketimbang wawancara. Pak Ibrahim tak menghujaniku banyak pertanyaan. Substansi pertanyaannya tak jauh beda dengan yang disampaikan Pak Yasin. Bisa dikatakan wawancara tahap kedua ini hanya repetisi saja dari wawancara tahap pertama. Bedanya, Pak Ibrahim seakan-akan berposisi sebagai akademisi sedangkan Pak Yasin benar-benar menempatkan dirinya sebagai seorang redaktur.

“Anda siap ke Jakarta kapan?”, tanya Pak Ibrahim di penghujung wawancara.

Dengan diplomatis kujawab: “Saya tidak tahu karena status lamaran saya di hukumonline belum clear.”

“Sekarang sudah clear,” tukas Pak Ibrahim yang langsung kusambut dengan senyuman.

Ya, aku resmi diterima bekerja sebagai Calon Reporter untuk Edisi Bahasa Indonesia di hukumonline. Pak Ibrahim lalu mengatakan bahwa sebelum bulan puasa aku harus sudah bekerja.

Dengan demikian, aku hanya butuh waktu 16 hari untuk mencari kerja. Sebuah lamaran yang nggak pakai lama. Bandingkan dengan proses lamaranku ke calon mertua. Butuh lebih dari dua tahun untuk bisa melakukannya! Itupun belum bisa dipastikan hasilnya.
posted by HERMANSYAH 4:29 AM  
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: HERMANSYAH
Home: Jakarta, Indonesia
About Me: Tulang-belulang yang kebetulan jadi tulang punggung keluarga
See my complete profile


previouspost


myarchives
10/01/2006 - 11/01/2006
12/01/2006 - 01/01/2007
02/01/2007 - 03/01/2007
03/01/2007 - 04/01/2007
05/01/2007 - 06/01/2007
07/01/2007 - 08/01/2007
12/01/2007 - 01/01/2008
08/01/2008 - 09/01/2008


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.