JURNALIS KIDAL
Membuat dan Mencatat Sejarah
 
Wednesday, December 13, 2006
Gugatan Ratna Sarumpaet Cs Kandas

DPR bukan badan hukum yang bisa digugat secara perdata. Produk yang dihasilkannya adalah produk tata usaha Negara. Pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi boleh berlanjut.

Ratna Sarumpaet tak seberuntung Erwin Arnada, pemred Playboy. Kalau Erwin berhasil lolos dari dakwaan melakukan tindak pidana kesusilaan, Ratna bersama Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (ABTI) justru harus gigit jari lantaran gugatannya terhadap DPR terkait penyusunan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) dimentahkan majelis hakim PN Jakarta Pusat.

“PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili dan memutus perkara ini,” kata ketua majelis Aman Barus dalam putusan sela soal kewenangan absolut, Rabu (11/4).

Majelis menegaskan, tidak ada Undang-undang yang mengatur gugatan perdata terhadap DPR dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, termasuk dalam menyusun sebuah peraturan perudangan.

Merujuk pada pasal 20 A dan pasal 20 A ayat (1) UUD 1945, majelis menilai DPR memang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi itu termasuk dalam lingkup hukum tata Negara. “DPR dalam menyusun RUU APP ini sudah sesuai dengan fungsinya,” ucap Aman Barus.

Jika DPR bisa digugat secara perdata, lanjut majelis, maka lembaga ini akan terhambat kinerjanya, terutama dalam menyusun dan memperbarui peraturan perundang.

Gugatan ini mulai disidangkan PN Jakarta Pusat pada Desember tahun lalu. Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Mari Darmaningsih, dan Ahmad Taufik yang tergabung dalam ABTI menilai DPR telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum ketika membentuk Pansus RUU APP dan memasukkan RUU tersebut dalam program legislasi nasional tahun 2005-2009

Menurut ABTI, ada tiga hal yang menyebabkan DPR layak digugat. Pertama, DPR tidak mengikuti prosedur pembuatan Undang-undang ketika mengajukan RUU APP. Kedua, DPR telah melakukan pembohongan terhadap publik karena adanya dua RUU APP. Ketiga, DPR telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keresahan dan memecah belah serta mengancam integrasi bangsa melalui penyusunan RUU APP.

RUU APP, dalam perspektif ABTI, bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Tata Tertib DPR-RI, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, serta melanggar nilai-nilai kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.

Atas dasar itu, ABTI berharap agar majelis hakim PN Jakarta Pusat memerintahkan DPR untuk membubarkan Pansus RUU APP dan menghapus RUU APP dari program legislasi nasional tahun 2005-2009.

Dengan kandasnya gugatan ini, ABTI berencana mengajukan banding. “Kami akan mengajukan banding. Kalau nanti sampai disahkan menjadi undang-undang kita pakai MK (Mahkamah Konstitusi—red),” kata Ratna dengan nada tinggi.

Sementara itu, kuasa hukum DPR Rudi Romansyah sangat puas dengan putusan ini. Seluruh dalil yang dia kemukakan dalam eksepsi dikabulkan majelis hakim. “DPR itu representasi rakyat. Mereka tidak bisa digugat secara perdata karena bukan badan hukum. Lain ceritanya kalau bertindak secara individual,” cetusnya.

Ditemui terpisah, guru besar Hukum Administrasi Universitas Indonesia Arifin P Soeria Atmadja menegaskan, DPR memang bukan sebuah badan hukum. Menurutnya, sebuah badan hukum adalah perkumpulan yang mendapat pengakuan dari pemerintah (Depkumham). Contohnya adalah PT, yayasan dan koperasi. “Karena DPR tak butuh pengakuan dari pemerintah, karena eksistensinya dijamin langsung oleh UUD 1945,” ungkapnya.
posted by HERMANSYAH 10:22 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Saturday, December 09, 2006
Menguak Sisi Gelap Poligami

Ada beragam modus poligami. Dampaknya selalu menimpa perempuan dan anak-anak.

Di penghujung acara komedi yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta, Senin malam (11/12/06), pelawak Kiwil dengan penuh percaya diri berucap: “Pelaku poligami itu orang-orang pilihan.”

Pernyataan Kiwil masih perlu diuji kevalidannya. Nyatanya, praktik poligami bukan monopoli tokoh tersoroh seperti Abdullah Gymnastiar, Hamzah Haz, Rhoma Irama maupun Soekarno. Poligami bahkan kerap dilakukan segala kalangan.

Lebih tragis lagi, berpoligami ternyata acapkali dilakukan dengan melanggar hukum. Hal itu bisa disimak dari data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). Berdasarkan laporan LBH-APIK tahun 2003, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tak mengindahkan peraturan perundangan yang ada.



Syarat berpoligami tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan khusus buat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus juga mempertimbangkan PP No. 45 Tahun 1990 tentang Revisi PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS.

PAsal 4 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu wajib rnengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun pengadilan belum tentu mengabulkan permohonan itu. Ayat (2) pasal yang sama mencantumkan tiga syarat yang harus dipenuhi: istri tidak bisa menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau sang isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Tiga syarat itu masih tak cukup. PAsal 5 ayat (1) menambahkan suami yang hendak berpoligami harus memperoleh persetujuan dari isteri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan, yang terpenting, dia harus berlaku adil terhadap para istri dan anaknya.

Mengenai keadilan ini, PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang suami mengajukan permohonan poligami pengadilan memeriksa penghasilan suami. Hal ini dibuktikan dengan yang surat keterangan yang ditandatangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima pengadilan. Hanya, pemeriksaan itu ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk menelaah keadilan yang bersifat material.

Menakar Keadilan
Siti Musdah Mulya, Dosen UIN Jakarta, sepenuhnya tidak yakin kalau suami bisa berbuat adil kepada istri dan anak-anaknya. Dia mendasarkan argumennya pada Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 3. Di situ ada kata “al-Qisht” dan “al-‘Adl” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya sama-sama “keadilan”. Kesalahan dalam menerjemahkan dan menafsirkan dua kata itu berimbas sangat fatal dalam memahami poligami.

Kata “al-Qisht”, kata Musdah, berarti keadilan yang bersifat materi (kuantitatif), sedangkan “al-‘Adl” adalah keadilan yang bersifat immateri (kualitatif). “Dalam hal poligami, yang dipakai itu al-adl, bukan al-qisht. Jadi poligami itu harus adil secara immateri. Ini sangat sulit. Bahkan siapapun, kecuali nabi, tidak akan bisa mewujudkannya,” tegas Musdah.

Sementara itu, Rifyal Ka’bah punya argumen yang berseberangan dengan Musdah. Menurut hakim agung MA ini, seberapa adilnya seseorang itu bisa diketahui. “Yang mengetahui ya pengadilan,” ujar Rifyal. Ditambahkannya, keadilan memang bersifat material dan immaterial. Namun demikian, hakim dengan hati nuraninya bisa mengetahui seberapa adil seseorang. “Pepatah lama mengatakan, hakim itu kan wakil tuhan di muka bumi ini,” imbuhnya.

Terlepas dari beda pendapat mengenai keadilan dalam berpoligami, yang jelas, Pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Yang immateri jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah, suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan peraturan perundangan yang ada.

Dampaknya Menimpa Istri dan Anak
Pasal 11 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat –atau mungkin berakibat—kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Merujuk pada definisi tersebut, Dewita Hayu Shinta, aktivis LBH-APIK Jakarta, secara tegas menyatakan poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan itu cukup beragam, dari yang tidak kentara sampai yang vulgar. Bagi Dewi “Kalau istri terpaksa memberi ijin kepada suami untuk menikah, itu saja sudah dinamakan kekerasan terhadap perempuan.”.



Lantas, bagaimana dampak poligami terhadap istri kedua, ketiga, dan seterusnya? Kekerasan terhadap mereka juga bisa terjadi sewaktu-waktu. Tak ada jaminan mereka akan selalu bernasib lebih baik dari istri pertama. Apalagi, bila pernikahan terhadap istri kedua itu dilakukan di bawah tangan.

Pernikahan di bawah tangan adalah menikah menurut ajaran agama (Islam) atau hukum adat, dan tidak merujuk pada hukum positif. Alhasil pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (KCS).

Poligami seperti ini tidak menggunakan perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidho) karena tidak tercatat secara hukum. Apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak bisa menggugat suami. Kalaupun ingin menggugat cerai, penyelesaiannya diserahkan kepada pemimpin agama.

Persoalannya makin rumit kalau sampai pasangan poligami itu punya anak. Status anak mereka tidak jelas, karena untuk memperoleh kejelasan status, dibutuhkan data semacam akta kelahiran. Padahal, untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. Hal ini berimbas pada pembagian harta warisan, dimana sang anak akan kesulitan mendapatkan hak warisnya.

Lebih dari itu, istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, semisal asuransi. Dan, apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.

Menurut Dewi Novirianti, aktivis Justice for the Poor, hal ini acap kali terjadi di pelosok tanah air. “Di Brebes, Cianjur, dan Lombok, praktik seperti ini sudah lazim. Yang kami usahakan adalah bagaimana sang anak dapat memperoleh hak-haknya,” papar Dewi.

Bambang Soetono, rekan Dewi, menambahkan, salah satu upaya terbaik adalah mengusahakan sang anak memperoleh akta kelahirannya berdasarkan garis keturuan dari sang ibu. “Di Brebes bahkan sudah ada Perda yang secara khusus mengatur hal-hal seperti ini,” tandas Bambang.

Akibatkan Perceraian
Asumsi bahwa poligami lebih berpotensi mendatangkan kehancuran rumah tangga, tampaknya sulit didebat. Karena itu, pengadilan agama terkesan cukup hati-hati dalam mengabulkan permohonan izin poligami. Tahun 2005, tercatat ada 989 permohonan izin poligami yang diajukan di pengadilan agama di seluruh Indonesia. Tak semua pengajuan itu dikabulkan. Ada 803 permohonan izin poligami yang dikabulkan. Berarti 186 lainnya ditolak. Penolakan itu, menurut Dirjen Peradilan Agama (Badilag) Wahyu Widiana, disebabkan adanya persyaratan poligami yang tak terpenuhi.

Badilag mencatat, sepanjang tahun 2005 saja perceraian yang disebabkan poligami totalnya ada 879 atau 0,6 persen dari seluruh perkara perceraian di Indonesia. Menariknya, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Bandung merupakan PTA yang paling sering menangani perceraian yang disebabkan poligami. Di kota kembang ini, tahun 2005, terdapat 324 perkara poligami. PTA Surabaya menempati urutan kedua, jumlahnya 162 atau separuh dari jumlah perkara serupa di Bandung. Menyusul di tempat ke tiga adalah PTA Semarang. Jumlahnya 104 perkara.

Angka-angka yang berhasil dihimpun Badilag tak bisa disebut bombastis. Dan, tentu saja tidak mengagetkan. Ini karena sebagian besar poligami dilakukan tanpa melalui prosedur baku seperti yang diatur dalam UU Perkawinan. Dalam bahasa lain, dilakukan di bawah tangan. “Poligami versi ini cukup dilakukan di depan pemimpin agama tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada pengadilan agama. Hasil pernikahan itu tak akan tercatat di KUA. Otomatis, Badilag tak punya datanya,” ujar Wahyu Widiana.
posted by HERMANSYAH 5:03 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: HERMANSYAH
Home: Jakarta, Indonesia
About Me: Tulang-belulang yang kebetulan jadi tulang punggung keluarga
See my complete profile


previouspost
Tragediku
MA Matangkan Draft KHES
Pengadilan Memanggil yang Gaib via Internet
Pengadilan Agama Mulai Tinggalkan 'Gang Tikus'
Beban Kerja Hakim Agama Terlalu Berat?
Dana Prodeo Segera Dikucurkan
Lion Air Dikalahkan Bule Amerika
RUU SBSN Belum Bisa Disahkan Tahun Ini
Menguntit Jejak KHES
Akan Ada Hakim Khusus Ekonomi Syariah


myarchives
10/01/2006 - 11/01/2006
12/01/2006 - 01/01/2007
02/01/2007 - 03/01/2007
03/01/2007 - 04/01/2007
05/01/2007 - 06/01/2007
07/01/2007 - 08/01/2007
12/01/2007 - 01/01/2008
08/01/2008 - 09/01/2008


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.