JURNALIS KIDAL
Membuat dan Mencatat Sejarah
 
Wednesday, December 26, 2007
MA Matangkan Draft KHES
Sebagai hukum materiil sangat lengkap, namun masih banyak celah. Konsensus ulama sangat diperlukan.

Tidak sia-sia Mahkamah Agung (MA) membentuk Tim Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Pasalnya, sejak dikukuhkan 20 Oktober 2006 lalu, tim yang diketuai Hakim Agung Abdul Manan tersebut sudah berhasil menyusun draft KHES.

Tak tanggung-tanggung, draft KHES mengatur setiap aspek ekonomi syariah dengan rinci. Secara keseluruhan, draft yang berhasil disusun pada 31 Mei itu terdiri dari Buku I-V yang terinci menjadi 1015 pasal.

“Draft ini masih dalam bentuk rough draft (draft kasar) sehingga butuh ‘penghalusan’ dari berbagai keahlian,” kata Prof Atjep Djazuli, pakar ekonomi syariah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, yang ditunjuk MA menjadi konsultan penyusunan KHES.

Dalam rangka mematangkan draft tersebut, akhir pekan lalu, MA mengadakan pengkajian bersama 14 pakar hukum dan ekonomi syariah UIN Bandung di Cianjur Jawa Barat.

Ketua Muda Perdata Agama MA Andi Syamsu Alam mengatakan, draft ini masih memiliki banyak celah. Ia melihat di sana-sini terdapat pasal yang tumpang-tindih. Sejumlah Pasal juga terkesan njelimet. “Materi draft ini kemungkinan bisa dikurangi, tapi mungkin juga ditambahi,” tegas Andi kepada hukumonline, di sela-sela pertemuan itu, Jumat (15/6).

Cakupan draft KHES ini memang luas. Karena itulah, agar lebih sistematis, tim penyusun membagi kompilasi ini menjadi lima bagian. Persoalan mendasar dalam muamalat diurai di Buku I (Pasal 1 sampai Pasal 45). Bagian ini mengatur tentang kecakapan hukum, pengampuan dan keterpaksaan. Tentu bagian ini sangat fundamental karena tak semua orang memiliki kecakapan hukum untuk melakukan perjanjian (akad).

Persoalan harta dikupas panjang lebar di Buku II (Pasal 46 sampai Pasal 56). Pada bagian ini, tim penyusun menjelaskan asas-asas kepemilikan dan pembagian harta. Di samping itu, bagian ini juga mengatur sebab-sebab kepemilikan harta.

Buku III (Pasal 57 sampai Pasal 977) tentang akad merupakan bagian yang paling rinci. Hal mendasar yang diatur adalah syarat-syarat umum akad dan hal-hal yang mempengaruhinya. Ada beragam bentuk akad yang diatur, dari jual beli, kerjasama modal dan usaha (mudharabah), asuransi, hingga kerjasama dalam pengelolaan lahan pertanian dan pemeliharaan pohon (al-muzara’ah wa al-musaqah).

Sementara itu, Bab IV (Pasal 978 sampai Pasal 995) mengatur persoalan zakat. Bagian ini merinci wajib zakat, harta yang wajib yang dizakati, mustahik zakat dan pendistribusian zakat. Yang menarik, bagian ini juga mengatur ketentuan pidana bagi orang tidak menunaikan zakat. Buku V (Pasal 996 sampai Pasal 1015) hanya mengatur tentang Hibah.

Akselerasi
Proses penyusunan draft KHES terbilang cepat. Apalagi, pimpinan MA juga memberikan dukungan agar penyusunan draft ini tak memakan waktu lama. Tak bisa dipungkiri, sejak Ketua MA mengeluarkan SK No. KMA/097/SK/X/2006 tentang Penunjukan Tim Penyusunan KHES, penggodokan draft KHES berjalan lancar. SK tersebut merupakan tindak lanjut dari rapat kelompok kerja perdata agama MA pada 4 Agustus 2006.

Sebulan setelah SK Ketua MA itu terbit, tim penyusun lantas menyelanggarakan pertemuan dengan para pakar dan hakim tinggi dari seluruh tanah air. Pertemuan yang berlangsung di Jakarta itu difokuskan untuk merinci masalah-masalah yang bakal dimasukkan dalam KHES. Hasil pertemuan itu kemudian dijadikan patokan bagi konsultan untuk menyusun draft KHES.

Dengan kerja keras selama tiga bulan, draft KHES akhirnya tersusun. “Waktu tiga bulan itu sangat singkat. Majallah al-Ahkam yang diberlakukan di Turki Usmani berisi 1851 Pasal, dibuat selama tujuh tahun,” kata Prof Djazuli.

Majallah al-Ahkam adalah kitab undang-undang hukum perdata Islam yang disusun pemerintah Turki Usmani pada tahun 1800-an. Kitab inilah yang dijadikan rujukan utama untuk menyusun KHES. “Selain itu kami juga mengadopsi peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia dan fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,” ujar Prof Djazuli.

Andi Syamsu menilai upaya yang ditempuh sudah tepat. Apalagi, RUU Perbankan Syariah dan RUU Sukuk kini sedang dibahas DPR dan pemerintah. “Kalau misalnya nanti ada perbedaan antara kompilasi ini dengan undang-undang, tentu kita akan gugur. Makanya biar sinkron, kita lakukan koordinasi, terutama dengan BI dan MUI,” lanjut Andi.

Butuh ijma’

Luasnya persoalan yang diatur dalam draf KHES yang diproyeksikan menjadi hukum materiil menyangkut ekonomi syariah ini tentu menimbulkan masalah tersendiri. Meski demikian, menurut Andi Syamsu, hal itu bukan masalah besar. Untuk menyiasatinya, para pakar yang hadir dalam pertemuan di Cianjur itu pun berbagi tugas. Mereka duduk dalam komisi yang berbeda.

Komisi I yang diketua Abdul Manan bertugas mengupas Pasal satu sampai Pasal 190. Pasal 191 sampai Pasal 493 dikaji oleh Komisi II yang diketuai Hakim Agung Rifyal Ka’bah. Sementara itu, komisi III yang diketuai Hakim Agung Habiburrahman diberi jatah menelaah Pasal 404 hingga Pasal 805. Dan, Komisi IV yang diketuai Hakim Agung Abdurrahman mengkaji Pasal 806 sampai Pasal 1015.

“Draft KHES tetap dijadikan acuan, tapi para pakar boleh memberikan masukan. Ini namanya ijma’ (konsensus—red) ulama,” tandas Andi, sembari berharap agar KHES kelak bisa ditetapkan sebagai undang-undang.

Andi yakin penggodokan draft ini tak bakal menuai banyak kendala, seperti yang pernah terjadi ketika penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). “Tidak banyak kontroversi. Lagi pula, saat ini kan regulasi ekonomi syariah masih kosong. Masyarakat membutuhkannya,” tandasnya. Hasil kajian bersama para pakar ini nanti akan dibahas lagi dengan MUI, pada Juli nanti.

Berderetnya tahap yang harus ditempuh MA untuk menyusun KHES ini ternyata membutuhkan dana yang tak kecil. Andi memperkirakan sekitar Rp2 miliar. Seluruhnya itu dibebankan kepada anggaran Ditjen Badilag MA. Selain untuk menggelar workshop, dana sebesar itu diperlukan untuk menelusuri literatur, studi banding ke luar negeri, hingga sosialisasi ke daerah.
posted by HERMANSYAH 1:19 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Pengadilan Memanggil yang Gaib via Internet
Badilag memanfaatkan teknologi dengan surat panggilan sidang secara online. Hanya untuk menunjang panggilan melalui koran dan radio, relaas online belum jelas apakah sah dan patut secara hukum.

“Oleh karena termohon sudah tidak diketahui alamatnya dengan jelas dan pasti di wilayah Republik Indonesia, maka panggilan ini saya laksanakan sesuai ketentuan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yakni melalui website Badan Peradilan Agama (Badilag) RI di Jakarta, supaya di-online-kan agar diketahui oleh yang bersangkutan.”

Begitulah penggalan isi surat panggilan (relaas) yang dibuat Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat HS Shalahuddin. Relaas yang dibikin pada 4 Mei itu ditujukan kepada Dadang Djulididjaja. Lelaki berusia 50 tahun ini semula bertempat tinggal di daerah Kemayoran Jakarta Pusat. Namun saat istrinya mengajukan gugatan cerai, tiba-tiba ia gaib alias tidak tidak diketahui alamatnya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Selasa, 4 September nanti, ia harus menghadiri sidang.

Belakangan, juru sita PA di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) memang bisa memanfaatkan fasilitas relaas online. Semua karena Badilag dengan gigih berusaha memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang kelancaran para pihak yang berperkara di PA.

Kini, melalui situs www.badilag.net, para pihak yang gaib pun bisa dipanggil untuk menghadiri sidang. Sekalipun masih terbatas untuk wilayah Jabodetabek, tak pelak relaas online yang digagas Badilag tersebut memunculkan keunikan tersendiri.

Dirjen Badilag Wahyu Widiana menyatakan, relaas online diperlukan untuk mendukung kelancaran para pihak yang berperkara. Selama ini, media massa yang lazim digunakan PA untuk mengumumkan relaas adalah koran dan radio. “Panggilan melalui situs Badilag ini untuk menunjang panggilan melalui koran dan radio,” jelasnya, ketika dihubungi hukumonline, Rabu (27/6).

Hanya, secara hukum, Wahyu mengaku kurang tahu apakah relaas online itu patut dan sah atau tidak. “Soal kepatutan dan keabsahannya, itu menjadi urusan Uldilag (Urusan Lingkungan Peradilan Agama—red). Kami hanya pelaksana saja,” tegasnya.


PP No. 9/1975 tentang

Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 20

2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

Pasal 27

1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.

2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.



Tak langgar hukum

Sementara itu, Ketua Muda Uldilag Andi Syamsu Alam menegaskan, relaas online tidak melanggar undang-undang. Menurutnya, undang-undang hanya menyatakan agar mengumumkan relaas di surat kabar dan media massa lain. “Kami di Peradilan Agama menafsirkan bahwa media massa lain itu juga termasuk internet,” ujarnya.

Meskipun demikian, secara pribadi, Andi belum berani mengatakan relaas online itu sah dan patut secara hukum atau tidak. “Biarlah itu menjadi kajian para pakar hukum,” kata hakim agung asal Makassar ini.

Di luar soal kepatutan dan keabsahan, soal keotentikan tentu patut ditelaah. Jika kita cermati, relaas yang dipajang di situs badilag tidak menggunakan kop surat dan stempel dari PA yang bersangkutan. Selain itu, tidak ada tanda tangan juru sita yang bertugas melakukan pemanggilan itu.

Menurut Andi, untuk menjamin keaslian relaas itu diperlukan relaas serupa yang diumumkan di media lain. Karena itulah, relaas online sifatnya sebatas penunjang.

Gratis
Sejatinya, biaya relaas bagi pihak yang gaib sudah dipatok oleh setiap Ketua PA di seluruh Indonesia. Di masing-masing daerah, besarnya biaya itu bervariasi. Di Jakarta, biaya iklan relaas adalah Rp200 ribu jika menggunakan radio dengan dua kali siaran. Jika menggunakan koran, biayanya sesuai tarif iklan yang ditetapkan koran itu.

Jika relaas itu ditaruh di badilag.net, para pihak sama sekali tak dipungut biaya. “Sampai saat ini masih gratis,” kata Wahyu. Sayang, Wahyu tak menjelaskan apakah kelak Badilag bakal memungut biaya atau tetap menyediakan fasilitas secara cuma-cuma.

Situs badilag.net saat ini baru memuat empat orang yang dipanggil untuk mengikuti sidang. Keempatnya bertautan dengan perkara perceraian. Dua di antaranya disidangkan di PA Jakarta Pusat, sedangkan dua lainnya di PA Jakarta Utara.

Faktanya, jumlah pihak berperkara yang alamatnya tak diketahui tidaklah sedikit. Karena itu, kata Andi, selain memanfaatkan situs badilag, PA sebenarnya bisa juga menggunakan situs internet lain.

“Itu tergantung kebijakan ketua pengadilannya. Kan harus diperhitungkan efektif tidaknya. Selain itu kan ini menyangkut biaya, jadi harus diperhitungkan efisiensinya,” ungkap Andi. Yang jelas, imbuh Andi, walau sekedar penunjang, internet punya kelebihan dibanding koran atau radio. “Kalau internet tidak terbatas ruang dan waktu.”
posted by HERMANSYAH 1:14 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Pengadilan Agama Mulai Tinggalkan 'Gang Tikus'
Gedung-gedung Pengadilan Agama bakal dipindah ke lokasi yang lebih strategis. Kondisi bangunan kelak makin luas dan nyaman.

“Kami ingin gedung PA tidak berada di gang tikus.” Kalimat tersebut kerap dilontarkan Direktur Badan Peradilan Agama (Badilag), Wahyu Widiana. Yang dimaksudkannya sebagai gang tikus adalah jalan sempit, bukan jalan raya, apalagi jalan protokoler.

Nyatanya, tidak sedikit gedung PA memang berada di gang tikus. PA Jakarta Pusat, misalnya, terletak di jalan kecil dan terselip di antara gedung-gedung jangkung. Untuk PA dengan kasta tertinggi alias kelas IA, gedung PA Jakpus juga terhitung mungil. Bangunan berlantai dua itu luasnya tak lebih dari 150 meter persegi.

Tidak strategisnya lokasi gedung PA tak lepas dari sistem peradilan kita. Sebelum 2004, PA berada di bawah naungan Departemen Agama. “Depag tidak hanya mengurusi pengadilan. Dulu soal tanah, PA hanya dijatah 250 meter persegi, sedangkan gedungnya maksimal 150 meter persegi. Letaknya juga tidak di jalan yang strategis,” ujar Farid Ismail, Sekretaris Badilag, Jumat (10/8).

Untuk pengadaan dan perbaikan gedung PA, dulu Depag menyerahkannya kepada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Anggarannya, kata Farid, jauh lebih kecil ketimbang sekarang. Untuk tahun 2000, misalnya, anggaran untuk PA hanya Rp3,5 M. Hingga bernaung di bawah MA, pada 2004, anggaran untuk PA cuma Rp51 M.

Belakangan, nasib gedung PA mulai diperhatikan. Menurut Farid, Biro Perencanaan dan Organisasi MA telah berupaya membenahi kondisi dan letak gedung PA. Biro inilah yang kini melakukan pengadaan fasilitas tanah dan gedung untuk PA.

“Sekarang jatah tanah untuk PA makin luas. Untuk kelas IA minimal 5000 meter persegi, dan untuk kelas II minimal 3000 meter persegi,” beber Farid.

Dengan kebijakan itu, sejumlah PA sudah mulai berburu tanah, bahkan sudah ada yang membangung gedung baru. Contohnya, PA Jakarta Selatan baru-baru ini sudah siap boyongan ke tempat baru. “PA Jaksel akan pindah ke daerah Ragunan. Lokasinya lebih strategis dan tanahnya lebih luas,” kata Abduh Salam, hakim dan juru bicara PA Jaksel.

Di Jakarta Utara, gedung PA bahkan sudah berdiri megah. Untuk melakukan pembangunan gedung baru itu, syaratnya tak terlalu rumit. “Ketua PA mengajukan usulan ke ketua PTA. Lalu diteruskan kepada Kepala Biro Perencanaan dan organisasi MA,” ungkap Farid.

Pembangunan gedung baru bukan satu-satunya agenda kalangan PA. “Ke depan, kami berharap gedung PA bisa selokasi dengan gedung Pengadilan Negeri. Istilahnya PA dan PN terpadu. Itu untuk memudahkan masyarakat,” imbuh Farid. Di Kabupaten Cibadak, Jawa Barat, hal itu sudah terealisasikan.

Jangan hanya fisik
Demi menunjang keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mencari keadilan, gedung PA memang harus strategis dan representatif. “Hal itu positif. Tapi jangan hanya fisik yang benahi. Kualitas pelayanan juga harus ditingkatkan,” kata pengamat peradilan, Rifqi Syarief Assegaf.

Rifqi juga mewanti-wanti agar anggaran relokasi dan pembangunan gedung PA itu tidak bocor ke kantong pihak tertentu. “Di mana-mana, tidak hanya di lingkungan PA, di mana ada anggaran lebih, di situ ada penyimpangan,” ungkap Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini.

Sementara itu, gedung pengadilan terpadu, menurut Rifqi, membawa banyak implikasi dan harus ditelaah lebih jauh. “Positifnya, memudahkan masyarakat dan membuat komunikasi antar lingkungan peradilan jadi makin bagus. Tapi negatifnya, ini menyangkut cost benefit yang tak kecil. Kultur negatif suatu peradilan juga bisa menular,” ujarnya.
posted by HERMANSYAH 1:09 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Beban Kerja Hakim Agama Terlalu Berat?
Belum ada standar beban kerja yang harus diemban hakim Pengadilan Agama. Masih diperdebatkan, apakah perlu penambahan hakim atau tidak.

Wajah Abduh Salam berubah kumal. Siang itu, hakim Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan ini baru saja selesai memimpin sidang. “Hari ini saya bersidang tiga kali,” ujarnya, awal bulan lalu, di ruang kerjanya. “Kadang-kadang sehari bahkan lebih dari tiga kali”.

Hakim asal Sulawesi Selatan ini mengaku cukup capek. Jadwal sidang di PA Jaksel, menurutnya terlalu padat. “Sebulan rata-rata 150 perkara dengan jumlah hakim hanya 13,” tuturnya. Idealnya, lanjut Abduh, PA Jaksel dihuni 20 hakim.

Keluhan Abduh Salam ternyata bukan basa-basi. Berdasarkan laporan Ditjen Badan Peradilan Agama (Badilag) MA, beban kerja hakim PA di kota-kota besar memang berkali lipat dibanding beban kerja hakim PA daerah. Di Jakarta, dengan lima PA, setahun rata-rata seorang hakim harus bersidang 277 kali untuk menghasilkan 70 putusan. Di PTA Surabaya lebih 'gila' lagi. Rata-rata setahun hakim di Jawa Timur harus menuntaskan 161 putusan dalam 597 persidangan.

Dari laporan itu terungkap juga bahwa ada kesenjangan beban kerja antara hakim PA di Pulau Jawa dengan di pulau 'pinggiran'. Beban kerja paling ringan ada di pundak hakim-hakim PA di Nusa Tenggara Timur. Tercatat, selama tahun anggaran 2006, 43 hakim di sana berhasil menuntaskan 189 perkara. Dengan begitu, seorang hakim PA di NTT rata-rata hanya membuat 4,3 putusan setahun. “Setahun rata-rata hakim agama harus bersidang 239 kali untuk menghasilkan 64 putusan. Berarti sebulan, seorang hakim agama harus mengikuti sekitar 20 persidangan. Putusan yang harus dihasilkan lebih dari lima,” kata Sekretaris Badilag, Farid Ismail.

Hitung-hitungan Ditjen Badilag itu didasarkan pada data statistik tahun anggaran 2006. Data itu menyebutkan, secara keseluruhan di Indonesia terdapat 343 PA dan Mahkamah Syar'iyah, dengan 2572 hakim. Jumlah perkara yang berhasil ditangani adalah 204.627.

Dengan asumsi tiap perkara diselesaikan dalam tiga kali persidangan, total persidangan yang harus dilakoni hakim selama setahun adalah 613.881. Sepekan, hakim PA bersidang empat hari. Jadi, setahun ada 192 hari sidang. Tak semua perkara, tentu saja, berhasil diputus dalam setahun. Badilag mencatat, total perkara yang diputus saat itu adalah 165.242.

Perlu ditambah?
Dari hitung-hitungan itu, Farid menyatakan beban kerja hakim PA cukup berat. Ia pun menyangkal anggapan sebagian kalangan yang menyebut hakim PA tak perlu memeras otak dan mengucurkan keringat untuk memutus suatu perkara. “Perkara di PA itu tidak gampang. Justru karena ini menyangkut bidang keluarga, aspek psikologis itu yang berat,” jelas Farid.

Menurut UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, PA memiliki kewenangan menyelesaikan sembilan jenis perkara. Selain perkawinan, sembilan perkara itu adalah waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Ketua Urusan Lingkungan Peradilan Agama MA, Andi Syamsu Alam, juga menilai beban kerja hakim PA sangat berat. “Jumlah hakim relatif tetap, sementara kewenangan semakin banyak,” ungkapnya. Kewenangan baru itu adalah menyelesaikan masalah ekonomi syariah yang terdiri atas 11 bidang.

Meski begutu, Farid dan Andi punya jurus yang berbeda untuk mengatasi persoalan ini. Menurut Farid, penambahan hakim merupakan solusi yang yang tak bisa ditawar lagi. “Kemarin hakim PA yang pensiun ada 200-an, sedangkan yang masuk hanya 250. Kalau sistem perekrutan hakim masih seperti sekarang, maka pada 2017 nanti hakim PA akan habis,” kata Farid.

Perihal tidak meratanya beban kerja hakim PA, mutasi dan promosi sejatinya bisa jadi alteranif. Tapi, ujar Farid, pola mutasi di lingkungan PA tak gampang. Butuh belasan tahun agar seorang hakim dapat bergeser ke PA yang lain.

Sementara itu, menurut Andi, penambahan hakim bukanlah solusi yang tepat. Sebab, upaya itu harus melibatkan Badan Kepegawaian Nasional. Karena itu, jurus yang mesti dipakai masing-masing hakim, kata Andi, adalah meningkatkan keterampilan dan pengetahuan. “Peradilan yang cepat, murah dan sederhana itu bisa dilakukan kalau hakimnya bekerja secara efektif dan efisien. Tapi juga harus diimbangi dengan kenaikan gaji dan tunjangan,” terang Andi.

Harus ada standar
Pengamat Peradilan, Rifqi Syarief Assegaf, menilai beban kerja hakim PA masih diliputi tanda tanya. Data-data Ditjen Badilag itu, kata Rifqi, belum bisa menggambarkan secara detail beban kerja hakim yang sesungguhnya.

Untuk itu, Rifqi menyarankan petinggi PA untuk segera melakukan penelitian guna memetakan beban kerja yang ideal untuk masing-masing PA. Dengan metodologi yang tepat, penelitian itu nantinya bakal menghasilkan kebutuhan riil jumlah hakim untuk tiap PA.

Saat ini, imbuh Rifqi, PA tak perlu tergesa-gesa melakukan penambahan hakim. Sebab, implikasi penambahan hakim sangatlah besar, dari membengkaknya anggaran hingga sulitnya pengawasan terhadap hakim.

Sejatinya, lanjut Rifqi, perkara-perkara di PA cenderung predictable karena tidak terlalu kompleks. Untuk perkara tertentu, ia menyarankan PA menerapkan konsep hakim tunggal. Dengan begitu, tidak semua perkara harus disidangkan oleh tiga orang hakim dalam sebuah majelis. Namun, penerapan hakim tunggal ini ternyata tak mudah. Andi Syamsu Alam menegaskan, dibutuhkan ijin pimpinan MA untuk melaksanakannya. “Ada beberapa daerah yang diijinkan memakain hakim tunggal. Tapi kualitas putusannya tidak bisa dijamin, karena terlalu subyektif,” tandas Andi.

Labels:

posted by HERMANSYAH 1:05 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Dana Prodeo Segera Dikucurkan
Selama ini dana untuk prodeo tak dianggarkan sehingga jumlah perkara prodeo pun minim. Pengadilan Agama disarankan memasang informasi tentang dana prodeo ini agar masyarakat tak mampu mengetahuinya.

Ditjen Badan Peradilan Agama MA mulai tahun ini bakal mengalokasikan dana khusus untuk perkara prodeo. Masyarakat miskin nanti bisa berperkara secara murah, bahkan gratis. “Anggaran itu berasal dari DIPA. Angkanya masih kecil, tapi tiap tahun akan ditingkatkan,” kata Dirjen Badilag, Wahyu Widiana, Senin (17/9). Soal berapa besar alokasi dana itu, Wahyu tak merinci.

Sebagaimana kesimpulan survei yang dilakukan bekerjasama dengan PPIM, alasan utama masyarakat miskin tidak membawa perkara hukumnya ke PA adalah karena tidak punya biaya, baik biaya perkara maupun biaya transportasi. Untuk menindaklanjuti hasil survei itu, petinggi PA mulai menyediakan anggaran khusus untuk perkara prodeo.

“Nanti masyarakat miskin bisa gratis 100 %, atau bisa juga hanya membayar separuh saja,” tandas Wahyu. Prinsipnya, lanjut Wahyu, Badilag semakin senang bila banyak perkara prodeo. Ini karena Pengadilan Agama (PA) bekerja untuk melayani publik, bukan mencari keuntungan.

Menurut Pasal 120 HIR, setiap pihak yang berperkara secara perdata harus membayar biaya perkara. Namun, masyarakat yang tergolong miskin bisa berperkara secara cuma-cuma.

Praktiknya, selama ini perkara prodeo di PA bukannya tidak ada. Agar bisa berperkara secara cuma-cuma, masyarakat yang ingin berperkara di PA harus menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari pemerintah setingkat kecamatan. Jika dokumen itu terpenuhi, maka biaya perkara tak dibebankan.

Namun, Departemen Agama—selaku induk PA sebelum satu atap—tak pernah menyediakan anggaran khusus untuk prodeo. “Dulu kami menempuh subsidi silang. Atau bisa juga nebeng, misalnya untuk pemanggilan sidang,” ujar Wahyu.

Berdasarkan catatan Badilag, masyarakat yang berperkara secara cuma-cuma sangat sedikit. “Jumlah persisnya saya kurang tahu, namun laporan itu ada di tiap-tiap PTA,” ungkap Kasubag Dokumentasi dan Informasi Badilag, Asep Nursobah,

Ketua Muda Perdata Agama MA, Andi Syamsu Alam, menyatakan, jumlah perkara di PA akan melonjak jika perkara prodeo makin banyak. “Sekarang ini kira-kira setahun PA menangani 250.000 perkara. Kalau ditambah perkara prodeo, jumlahnya nanti menjadi sekitar 300.000 per tahun,” tuturnya.

Melonjaknya jumlah perkara ini tentu menjadi 'PR' tersendiri. Sebab, petinggi PA pernah berasumsi bahwa beban kerja hakim PA terlalu berat. Meski demikian, kata Andi Syamsu, hakim PA akan senang hati membantu masyarakat miskin mendapatkan keadilan.

Kerap dimanipulasi

Prosedur mendapatkan biaya perkara cuma-cuma ternyata bisa disalahgunakan. Menurut Wahyu, karena terkendala data, tak jarang PA memberi keringanan biaya perkara kepada orang yang salah. “Artinya, orang tersebut sebenarnya mampu, tapi pura-pura miskin. Misalnya dengan memanipulasi surat keterangan tidak mampu,” ungkap Wahyu.

Karena itu, untuk memastikan miskin tidaknya pencari keadilan, dalam sidang perdana, biasanya majelis hakim melakukan pengamatan dengan seksama. “Dari dhahir-nya 'kan bisa dilihat apakah dia itu orang miskin atau tidak. Hakim dengan diskresinya nanti memutuskan apakah orang ini harus membayar biaya perkara atau tidak,” jelas Wahyu.

Wahyu menambahkan, sejauh ini belum ada data yang kongkrit mengenai masyarakat miskin. Data-data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menurutnya belum bisa diandalkan. Namun demikian, kartu keluarga miskin yang digunakan masyarakat untuk mendapat sembako murah atau pengobatan gratis, bisa juga digunakan masyarakat untuk berperkara secara prodeo di PA.

“Perkara prodeo itu seperti pengobatan gratis. Yang diberikan rakyat miskin. Dananya harus disediakan pemerintah,” beber Wahyu.

Harus disosialisasikan

Menurut pengamat peradilan, Rifqi Syarief Assegaf, adanya alokasi dana untuk prodeo di PA merupakan kabar gembira yang ditunggu-tunggu masyarakat. “Dengan begitu masyarakat akan mudah mendapatkan acces to justice,” ungkapnya.

Dialokasikannya dana untuk prodeo juga berarti menempatkan anggaran pada pos yang tepat. “Selama ini, sebagian besar dana dialokasikan untuk pembenahan internal. Dengan demikian, sebagian anggaran itu kini dinikmati masyarakat pencari keadilan,” tandas Rifqi.

Ke depan, Rifqi menyarankan agar di tiap PA dipasang informasi yang jelas mengenai prosedur berperkara secara prodeo. Hal ini akan sangat membantu masyarakat. “Tentu agar alokasi dana untuk prodeo tidak sia-sia karena tidak dimanfaatkan masyarakat yang membutuhkannya,” imbuh Rifqi.

Labels:

posted by HERMANSYAH 1:02 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Lion Air Dikalahkan Bule Amerika
Lion Air dinyatakan telah ingkar janji. Perusahaan ini diharuskan membayar ganti rugi sebesar AS$388 ribu.

Pada 30 November 2004, pesawat Lion Air JT 538 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sumarmo Solo. Walau sudah tiga tahun berlalu, ternyata kecelakaan yang merenggut 25 nyawa itu masih juga menyisakan persoalan hukum.

Seorang warga Amerika Serikat, Salvatore Abbanato, membawa Lion Air berseteru di meja hijau. Karena mengalami luka berat pada kecelakaan itu, ia mengajukan gugatan wanprestasi terhadap PT Lion Mentari Airlines ke PN Jakarta Pusat. Dan, Senin (17/12) lalu, majelis hakim telah menjatuhkan putusan. Di pengadilan tingkat pertama itu, Lion Air dinyatakan kalah.

Majelis yang dipimpin Makkasau menyatakan, Lion Air terbukti melakukan wanprestasi. Lion Air tidak menepati kewajiban hukumnya selaku perusahaan penerbangan. Tiket pesawat rute Jakarta-Solo yang dimiliki Abbanato, kata majelis, merupakan perjanjian yang mengikat Lion Air dengan Salvatore. “Terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau luka-luka menjadi tanggung jawab mutlak perusahaan penerbangan,” kata Makkasau.

Dasar hukum yang dipakai majelis ialah Pasal 43 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Pasal 42 PP No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Menurut majelis, seluruh bukti selama persidangan menunjukkan adanya wanprestasi itu. Bukti-bukti yang disodorkan pihak Lion Air, tandas majelis, justru mendukung argumen Abbanato. Karena itu, Lion Air harus membayar ganti rugi sebesar AS$388 ribu atau sekitar Rp3,5 miliar. Ganti rugi itu terdiri dari biaya pengobatan, penghasilan dan komisi per tahun.

Kecelakaan pesawat Lion Air JT 538 di Solo telah membuat dua kaki Abbanato luka berat. Untuk memulihkan kondisi kakinya, ia menjalani perawatan di Korea dan Amerika. Bukannya pulih, dua kaki Abbanato malah cedera permanen. Ia pun harus kehilangan pekerjaan.

Mulanya, Abbanato tidak ingin membawa persoalan ini ke meja hijau. Ia sabar menunggu janji Lion Air yang akan memberi ganti rugi. “Mereka bilang akan memberi ganti rugi, tapi tidak pernah direalisasikan,” ungkap Arham M Tamin, kuasa hukum Abbanato kepada hukumonline.

Untuk menagih janji itu, pada 24 November 2006 Abbanato berkirim surat kepada Lion Air. Untuk menindaklanjutinya kuasa hukum kedua pihak mengadakan pertemuan. “Namun permintaan kami tidak dipenuhi. Ini menunjukkan Lion Air tidak memiliki iktikad baik,” ujar Arham.

Setelah itu, Abbanato kehilangan kesabarann. Ia lantas mengajukan gugatan terhadap Lion Air. Pada 27 April 2007, gugatan itu diterima panitera dengan register No. 160/Pdt.G/2007/PN Jakpus. Di dalam berkas gugatan, kuasa hukum Abbanato mencuplik Artikel ke-3 Bagian 2 Protocol Den Haag. Di situ ditegaskan, tiket pesawat merupakan bukti perjanjian antara perusahaan penerbangan dengan penumpang.

Selebihnya, apa yang diuraikan di gugatan nyaris sama dengan putusan yang dibikin majelis hakim. “Yang berbeda, majelis tidak mengabulkan tuntutan menganai dwangsom atau uang paksa,” tandas Arham.

Meski merasa puas dengan putusan hakim, Arham sempat was-was terhadap hasil akhir sengketa ini. Sebabnya, majelis menunda pembacaan putusan hingga empat kali. Karena jadwal putusan yang tak pasti itu, Eva Nurdin –kuasa hukum Lion Air—bahkan tidak bisa hadir ke persidangan saat kliennya dinyatakan wanprestasi. Sayang, hingga kini Eva belum bisa dimintai pendapatnya soal putusan ini. Sementara itu, Arham mengaku siap bila Lion Air mengajukan banding.

Labels:

posted by HERMANSYAH 12:58 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

RUU SBSN Belum Bisa Disahkan Tahun Ini
DPR harus ngebut agar investor tak keburu kabur. Namun DPR juga harus memperhatikan Undang-undang terkait.

Rancangan Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (RUU SBSN) atau RUU Sukuk dipastikan tak bisa disahkan tahun ini. Saat ini seluruh fraksi di DPR masih sibuk menyusun Daftar Isian Masalah (DIM)-nya. Pertengahan tahun depan RUU ini kemungkinan baru disahkan menjadi UU.

Kesimpulan itu mengemuka dalam Seminar Kebijakan dan Prospek Sukuk di Indonesia, Sabtu (27/10). RUU SBSN tidak bisa disahkan tahun ini karena Komisi XI—komisi yang menangani perbankan, anggaran, dan keuangan negara—DPR masih harus menuntaskan pembahasan lain, seperti RUU Pajak Penghasilan dan Rancangan Anggaran Kementerian dan Lembaga 2008. November nanti Komisi XI DPR akan mulai menyidangkan RUU SBSN lagi.

Regulasi soal sukuk telah dinanti-nanti para player ekonomi syariah. Namun sejumlah kalangan menilai DPR terlalu lamban menggodok RUU Sukuk ini. Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Muhammad Syakir Syula bahkan mempertanyakan keseriusan DPR dalam mendukung pemerintah menerbitkan sukuk.

RUU SBSN mulai bergulir ke Senayan awal tahun ini. Pada 13 Februari silam, pemerintah menyodorkan RUU ini melalui Presiden (Ampres) No: R-09/Pres/2/2007. Persis sebulan kemudian, Ampres tersebut dibacakan dalam sidang paripurna DPR. Setelah itu RUU SBSN secara resmi masuk Prolegnas.
Lalu, pemerintah menyampaikan keterangannya kepada DPR, 6 Juni. Fraksi-fraksi di DPR menanggapi keterangan pemerintah sebulan kemudian. Setelah itu dibuatlah kesepakatan mengenai mekanisme pembahasan RUU SBSN dan penyusunan DIM oleh DPR.

Sinkronisasi
Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto mengingatkan, pekerjaan besar yang harus dituntaskan DPR saat ini adalah melakukan sinkronisasi RUU SBSN dengan UU terkait. Ia menegaskan, RUU SBSN terkait erat dengan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Rahmat menjabarkan, penjualan barang milik negara yang dijadikan underlying asset (agunan) hanya hak manfaatnya (beneficiary title) sehingga tidak diperlukan perpindahan kepemilikan atau pendaftaran dan persetujuan DPR. “Oleh karena itu penjualan barang milik negara tersebut merupakan penjualan sebagaimana diatur UU No. 1 Tahun 2004,” ujarnya.

Tujuan pendirian SPV (Special Purpose Vehicle) tidak untuk mencari keuntungan meski permodalannya merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan. Karena itu SPV tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN sebagaimana diatur UU No. 19 Tahun 2003. “Status badan hukum SPV juga bukan PT sehingga tidak tunduk pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007,” imbuh Rahmat.

Soal pembentukan SPV, Rahmat menjelaskan, SPV sepenuhnya dimiliki pemerintah dengan status badan hukum dan berkedudukan di dalam negeri. SPV itu nantinya berfungsi sebagai wali amanat (trustee). Organ SPV hanya terdiri dari Dewan Direktur tanpa karyawan.

Dalam transaksi sukuk, SPV sangat penting karena badan inilah yang akan memelihara atau mengurus aset yang harus diserahkan ke investor yang jumlahnya ribuan. SPV merupakan perwakilan pemerintah sekaligus investor. Selain itu, SPV menjadi pengawas aset, dan wali amanat.

Peluang besar
Direktur Karim Business Consulting Adiwarman Karim berharap DPR segera merampungkan penggodokan RUU SBSN. Ia tak ingin investor keburu kabur gara-gara belum ada regulasi yang jelas mengenai Sukuk.

Sukuk berkembang sangat pesat dewasa ini. Adiwarman menyatakan, lebih dari AS$10 miliar Sukuk diterbitkan di wilayah Timur Tengah selama tahun 2006 atau sekitar 40% dari seluruh penerbitan surat berharga di wilayah tersebut. “Sudah terdapat AS$3,25 miliar penerbitan sukuk di tahun 2007,” ujarnya.

Adiwarman menambahkan, instrumen sukuk semakin dikenal dan diterima di pasar keuangan internasional dengan permintaan yang meningkat dari investor di luar Timur Tengah. “Investor baru dari dan Eropa semakin banyak berpartisipasi dalam setiap penerbitan sukuk baru,” tandasnya. Hal itu menunjukkan investor internasional semakin paham dengan struktur sukuk.

Labels:

posted by HERMANSYAH 12:53 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Menguntit Jejak KHES
Menurut rencana, akhir tahun ini beres. Akan diterbitkan dalam bentuk Perma.

Pada awalnya para wakil rakyat di Senayan merevisi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lalu lahirlah UU No. 3 Tahun 2006. Dengan UU Peradilan Agama yang baru ini, ada banyak hal yang berubah. Namun perubahan yang paling mencolok terjadi pada Pasal 49. Dengan pasal itu, sejak Maret 2006 lalu, Peradilan Agama punya garapan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

Sengketa di bidang ekonomi syariah diprediksi bakal ramai di kemudian hari. Ekonomi syariah selalu dipandang berbeda dengan ekonomi konvensional, namun keduanya toh selalu berkaitan dengan kontrak (perjanjian). Para pihak yang terlibat berkemungkinan mencederai apa yang sudah mereka sepakati.

Karena itu, selain diperlukan SDM yang mumpuni, diperlukan juga hukum materiil yang bisa dipakai untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di meja hijau. Ketika UU No. 3 Tahun 2006 disahkan pada Maret 2006 silam, ternyata hukum materiil dimaksud belum ada. Kalaupun ada, ia begitu mentah. Misalnya Fikih Muamalah yang dapat dijumpai di kitab kuning. Atau, ada juga yang setengah matang, yaitu fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa tersebut menjadi rujukan bagi BI untuk menyusun Peraturan BI atau Surat Edaran BI.

Mahkamah Agung (MA) pun menyadari perlunya mengolah bahan-bahan itu menjadi hukum positif agar bisa diterapkan di Pengadilan Agama. “Untuk program jangka pendek, paling tidak dibutuhkan sebuah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengikuti jejak Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah ada,” ungkap hakim agung Rifyal Ka'bah. Hal serupa itulah yang ia dalam makalah Kodifikasi Hukum Islam melalui Undang-undang Negara di Indonesia yang ia sampaikan di Medan belum lama ini.

Rifyal menambahkan, salah satu jalan keluar sebelum lahirnya undang-undang lengkap yang berhubungan dengan hukum ekonomi syariah adalah positivisasi fatwa DSN-MUI menjadi peraturan perundang-undangan.

Langkah itu memang paling realistis. Prof Juhaya S Praja, anggota Tim Konsultan yang ditunjuk MA, mengakuinya. “Dalam beberapa bidang dan pasal-pasal tertentu, fatwa DSN 'di-copy' begitu saja dengan beberapa perubahan yang sifatnya redaksional,” tuturnya, dalam makalah berjudul Materi KHES dan Kaitannya dengan Fatwa DSN.

Karena berbentuk kompilasi, aturan itu harus mencakup banyak ragam ekonomi syariah. Tak sekedar soal perbankan syariah, tapi juga soal wakaf, zakat, dan praktik ekonomi syariah lainnya. Tentu, menyusun kompilasi seperti ini tak gampang, namun MA punya siasat khusus untuk itu.

Menjelang deadline

Tujuh bulan setelah UU No. 3 Tahun 2006 disahkan, Ketua MA Bagir Manan meneken SK No: KMA/097/SK/X/2006. SK tertanggal 20 Oktober 2006 itu merupakan tindak lanjut dari rapat kelompok kerja perdata agama MA pada 4 Agustus 2006. Dengan SK itu Bagir membentuk Tim Penyusunan KHES yang diketuai hakim agung Prof Abdul Manan. Tim ini punya masa tugas hingga 31 Desember 2007. Artinya, dua bulan lagi deadline itu tiba.

Abdul Manan dalam makalahnya berjudul Informasi tentang Penyusunan KHES menceritakan, langkah awal yang ditempuh Tim Penyusun adalah menyesuaikan pola pikir (united legal opinion). Di Solo, 21 hingga 23 April 2006 dan di Yogyakarta 4 hingga 6 Juni 2006, Tim Penyusun mulai menempuh langkah itu.

Dalam rangka menyesuaikan pola pikir itu, pakar ekonomi syariah, baik dari perguruan tinggi maupun dari praktisi, didengar suaranya. DSN-MUI pun dilibatkan. Dan, yang cukup spesial adalah kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Lembaga inilah yang sejak 1994 silam punya wewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah lewat arbitrase. Tentu, Tim Penyusun berharap Basyarnas mulai menyadari posisinya setelah Pengadilan Agama diberi mandat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah lewat jalur litigasi.

Setelah menyamakan pola pikir, langkah berikutnya adalah mencari format yang ideal (united legal frame work) dalam menyusun KHES. Tim penyusun kali ini banyak mendengar paparan petinggi Bank Indonesia (BI). Di Jakarta, 7 Juni 2006 silam, petinggi BI memberi gambaran mengenai regulasi BI terhadap perbankan syariah dan seperti apa pembinaan yang dilakukan.

Masih dalam rangka mencari format penyusunan KHES yang ideal, Tim Penyusun pada 20 November 2006 mencari masukan dari para akademisi. Mereka yang memberi saran berasal dari Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (PKES). MUI dan BI masih dilibatkan untuk urun rembug dalam pertemuan yang digelar di Jakarta itu.

Langkah berikutnya yang ditempuh Tim Penyusun adalah melakukan kajian pustaka. Tak hanya literatur kitab fikih klasik yang dikaji, literatur ekonomi kontemporer pun ditelaah. “Baik yang ditulis para pakar hukum ekonomi syariah maupun konvensional. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri,” kata Manan.

Dalam rangka kajian pustaka ini, Tim Penyusun menyambangi negeri jiran Malaysia, pada 16 hingga 20 November 2006. Di sana, mereka melakukan studi banding ke Pusat Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional, Pusat Takaful , serta Lembaga Keuangan Islam dan Lembaga penyelesaian Sengketa Perbankan. Ketiganya berada di Kuala Lumpur.

Tak hanya ke Malaysia, Tim Penyusun juga bertolak ke Pakistan, pada 25 hingga Juni 2007 lalu. Mereka berburu ilmu di Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam International Islamabad, Federal Court, Mizan Bank, Bank Islam Pakistan dan beberapa lembaga keuangan syariah lain.

Hasil studi itu kemudian diolah dan dianalisis. Namun Tim Penyusun tak bekerja sendiri. Mereka menunjuk Tim Konsultan. “Sebagian data telah disiapkan Tim Penyusun, dan sebagian lagi disiapkan sendiri oleh tim konsultan,” ujar Manan.

Tim Konsultan itu berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung. Prof Atjep Djazuli menjadi koordinatornya. Anggotanya terdiri dari sepuluh orang, dimana lima di antaranya adalah guru besar. Pertemuan pertama antara Tim Penyusun dengan Tim Konsultan melahirkan kesepakatan tentang garis besar draft akademik KHES. Disepakati, KHES akan dipilah menjadi tiga bagian (buku). Buku I tentang Harta, Buku II tentang Zakat, Infaq, Shadaqah, Buku III tentang Akad, dan Buku IV tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.

Selama empat bulan Tim Penyusun dan Tim Konsultan berkolaborasi, hasilnya adalah draft KHES yang terdiri dari 1015 pasal. Kepada hukumonline Prof Djazuli pernah bercerita, timnya sanggup menyusun draft KHES secepat itu setelah merujuk kitab Majallah al-Ahkam. “Majallah al-Ahkam adalah kitab undang-undang hukum perdata Islam yang disusun pemerintah Turki Usmani pada tahun 1800-an. Kitab ini terdiri dari 1851 pasal dan disusun selama tujuh tahun,” ungkapnya.

Namun draft yang dihasilkan Tim Konsultan itu dinilai terlalu banyak celah. Menyadari hal itu, digelarlah diskusi bersama dengan pakar hukum ekonomi Islam, di Bogor pada 14 hingga 16 Juni silam. Diskusi ini berkesimpulan, draft KHES perlu disempurnakan dari segi sistematika dan metodologi. Beberapa materi baru juga dinilai perlu dimasukkan KHES.

Tim Konsultan dijatah sebulan untuk menyempurnakan draft KHES. Materi baru yang bakal dimasukkan ke KHES diambil dari kitab-kitab Fikih kontemporer dan hasil kajian ilmiah yang diselenggarakan Pusat Kajian Ekonomi Islam International. Menurut Manan, hasil kajian ini telah diberlakukan secara universal dalam hukum ekonomi syariah.

Tim Penyusun dan Tim Konsultan berembug lagi pada 27 hingga 28 Juli 2007 di Bandung. Dari segi sistematika dan metodologi, draft KHES dianggap telah memadai. Namun, dari segi substansi perlu disempurnakan lagi. “Terutama dalam hal yang berhubungan dengan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, ganti rugi, dan overmash,” kata Manan. Di samping itu, disepakati KHES tak perlu mengatur sanksi pidana. Mereka menyerahkan kewenangan untuk mengatur sanksi pidana kepada lembaga legislatif.

Hasil rembugan itu juga memadatkan jumlah pasal KHES, dari 1015 pasal menjadi 845 pasal. Sistematika KHES juga berubah. Buku I berisi tentang Subyek Hukum dan Harta, Bab II tentang Akad, Bab III tentan Zakat dan Hibah, Buku IV tentang Akuntansi Syariah. Kini drat KHES memasuki tahap finalisasi. Tim Penyusun dan Tim Konsultan sepakat akan bergiat membenahi bagian yang masih mengandung celah. “Sudah barang tentu KHES ini banyak kekurangannya. Kritik dan saran yang bersifat membangung sangat diharapkan,” Manan berharap. untuk itu, pada akhir tahun nanti KHES akan disosialisasikan kepada masyarakat luas.

Berbentuk Perma

Tak bisa dipungkiri, kesuksesan KHI mengilhami MA menyusun KHES. Sebagaimana diketahui, KHI diterbitkan hanya berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres), padahal kedudukan Inpres tidak jelas dalam hirarki perundang-undangan Indonesia. Walau hanya berbentuk Inpres, nyatanya KHI telah dipakai lebih dari 20 tahun di Pengadilan Agama.

Belakangan muncul gagasan menyempurnakan KHI. Maka, disiapkanlah RUU Terapan tentang Perkawinan dan Kewarisan. Sementara itu, wakaf yang menjadi salah satu Buku dalam KHI, bahkan telah diatur secara terpisah ke dalam UU No. 41 tahun 2004.

Menurut Rifyal, KHES kemungkinan akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma). “KHES tentu akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dan diharapkan pada suatu saat akan menjadi semacam Kitab Undang-undang Ekonomi Syariah,” tandasnya.

Sebagaimana peraturan perundangan lainnya, menurut Rifyal, kelak Kitab Undang-undang Ekonomi Syariah juga bisa direvisi. Kaidah fikih tentang dinamika hukum menyatakan, “Taghayyiru al-ahkam bi Taghayyiru al-azman wa al-amkan.” Ya, berubahnya hukum bergantung pada berubahnya zaman dan tempat. Dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat.

Labels:

posted by HERMANSYAH 12:45 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Akan Ada Hakim Khusus Ekonomi Syariah
MA akan melakukan sertifikasi. Demi profesionalisme dibutuhkan spesialisasi. Haruskah dilakukan sekarang?

Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) M Taufik mengusulkan agar hakim Pengadilan Agama (PA) dipilah menjadi dua. Yang pertama adalah hakim yang menangani perkara keluarga, dan kedua adalah hakim yang khusus menangani perkara ekonomi syariah.

Usul itu disampaikan Taufik saat menjadi pembicara dalam rapat koordinasi kelompok kerja perdata agama MA, akhir September lalu. “Kami setuju dengan usul itu,” kata Ketua Muda Perdata Agama MA Andi Syamsu Alam, di kantornya, Rabu (3/10). Agar profesional, menurut Andi, hakim PA harus punya spesialisasi.

Hakim khusus ekonomi syariah nanti hanya akan menangani sengketa-sengketa di bidang ekonomi syariah. Menilik pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, ada sebelas bidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi syariah. Kesebelas bidang itu ialah perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.

Di seluruh Indonesia, saat ini terdapat sekitar 3000 hakim PA. Yang akan dijadikan hakim khusus ekonomi syariah, menurut Andi, tak lebih dari sepertiganya. Bagaimanapun juga, perkara keluarga jumlahnya jauh lebih banyak.

Agar bisa menjadi hakim khusus ekonomi syariah, seorang hakim nanti harus mendapat sertifikat dari MA. Usul ini disampaikan hakim agung Abdul Ghani Abdullah. “Kami juga setuju dengan usul itu, tapi seperti apa mekanisme sertifikasinya masih akan dibahas lagi. Mungkin akan dirumuskan Pak Abdul Ghani,” lanjut Andi. Hanya, sejauh ini Abdul Ghani belum bisa dimintai penjelasan soal gagasan sertifikasi ini.

Sebelum sertifikasi itu dilakukan, petinggi PA sudah membuat ancang-ancang. Saat ini di tiap PA terdapat tim ekonomi syariah. Anggotanya adalah para hakim yang ditunjuk oleh Ketua PA masing-masing. Tim ini disiapkan menjadi cikal bakal hakim khusus ekonomi syariah. Selain memiliki keahlian di bidang hukum, mereka dibekali pengetahuan mengenai seluk-beluk ekonomi syariah. Hanya, anggota tim ini juga masih menangani perkara-perkara keluarga seperti cerai dan waris.

Untuk melakukan sertifikasi, urai Andi, diperlukan payung hukum. MA sedang menyiapkannya namun belum diketahui payung hukum itu dalam bentuk apa. “Yang jelas, hakim untuk perkara keluarga dan ekonomi syariah gaji dan tunjangannya sama saja,” tambahnya.

Berdasarkan catatan MA, sampai bulan ini baru ada tujuh perkara ekonomi syariah yang dituntaskan PA. Empat di Jawa Tengah, sisanya di Bukit Tinggi, Surabaya, dan Medan. “Semua sudah diputus dan tidak ada yang sampai banding atau kasasi,” ungkap Andi.

Ke depan, Andi memperkirakan perkara ekonomi syariah semakin banyak yang diselesaikan di PA. Meski hukum material yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) masih dalam tahap penggodokan, hakim PA tak kekurangan payung hukum untuk menyelesaikannya. Selain menggunakan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan Peraturan Bank Indonesia, hakim agama juga menggunakan KUHPerdata.

Sepuluh Tahun lagi

Pengamat peradilan Rifqi Syarif Assegaf menilai belum waktunya dilakukan pemilahan dan sertifikasi terhadap hakim PA yang bakal menangani sengketa ekonomi syariah. “Harus dilihat dulu bagaimana kompleksitas perkara ekonomi syariah dan kuantitas hakim agama saat ini,” ujarnya.

Menurut Rifqi, sampai sepuluh tahun ke depan, perkara-perkara keluarga masih akan tetap mendominasi PA. Merujuk pada hasil survei mutakhir, masih banyak masyarakat kelas bawah yang belum bisa mencari keadilan di PA gara-gara terkendala biaya.

“Sementara waktu, fokus dulu ke perkara keluarga. Masih banyak tantangan yang harus diselesaikan. Terutama pelayanan terhadap masyarakat miskin yang hidup di daerah tertinggal,” beber Rifqi.

Rifqi menambahkan, hakim khusus ekonomi syariah diperlukan bila sengketa ekonomi syariah sudah banyak dan tersebar di seluruh tanah air. Ia tak ingin kejadian yang menimpa Pengadilan Niaga terulang di PA.

Saat awal Pengadilan Niaga berdiri, hanya hakim khusus yang boleh menangani perkara niaga. Hakim-hakim itu tak perlu menangani perkara lain, baik pidana maupun perdata. “Karena jumlah perkara niaga makin sedikit, mereka sering nganggur. Lalu dibuatlah kebijakan, hakim khusus ini menangani juga perkara lain kalau dia tidak sedang bertugas di pengadilan niaga,” ungkap Rifqi.

posted by HERMANSYAH 12:29 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: HERMANSYAH
Home: Jakarta, Indonesia
About Me: Tulang-belulang yang kebetulan jadi tulang punggung keluarga
See my complete profile


previouspost
Tragediku
MA Matangkan Draft KHES
Pengadilan Memanggil yang Gaib via Internet
Pengadilan Agama Mulai Tinggalkan 'Gang Tikus'
Beban Kerja Hakim Agama Terlalu Berat?
Dana Prodeo Segera Dikucurkan
Lion Air Dikalahkan Bule Amerika
RUU SBSN Belum Bisa Disahkan Tahun Ini
Menguntit Jejak KHES
Akan Ada Hakim Khusus Ekonomi Syariah


myarchives
10/01/2006 - 11/01/2006
12/01/2006 - 01/01/2007
02/01/2007 - 03/01/2007
03/01/2007 - 04/01/2007
05/01/2007 - 06/01/2007
07/01/2007 - 08/01/2007
12/01/2007 - 01/01/2008
08/01/2008 - 09/01/2008


mylinks
TemplatePanic
Blogger


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.