Friday, February 16, 2007
|
ABK KM Bahari Makmur Menangkan Praperadilan
|
Proses penahanan yang dilakukan aparat dari Departemen Kelautan dan Perikanan dinilai tak sesuai prosedur dan melanggar HAM.
Aksi kejar-kejaran antara kapal Hiu Macan 002 milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan KM Bahari Makmur 2 di laut Arafuru Maluku Tenggara telah usai 10 Desember 2006 lalu. 20 Anak Buah kapal (ABK) KM Bahari Makmur –9 di antaranya warga negara China—pun telah ‘diamankan’ oleh aparat DKP.
Tapi bukan berarti persoalan telah beres. Karena merasa proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan aparat DKP cacat hukum, ke-20 ABK dan PT Sumber Bahari Makmur (pemilik KM Bahari Makmur 2), lantas mengajukan permohonan praperadilan di PN Jakarta Pusat. Dan, setelah seminggu disidangkan, permohonan tersebut akhirnya diputus, Senin (16/4).
Kali ini justru para ABK yang berhasil memenangkan perseteruan. Hakim tunggal Lilik Mulyadi menegaskan, proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan aparat DKP tidak sah dan bertentangan dengan hukum. Karena itu, para ABK tersebut harus dibebaskan dan diberi ganti rugi sebesar Rp1 juta per orang.
Menurut Lilik, ada kejanggalan dalam proses penangkapan dan penahanan itu. “Jika memang benar tidak melakukan penahanan, semestinya pihak DKP memberikan ijin bagi para ABK menghadiri sidang,” kata Lilik. Paradoks itulah yang sulit dielakkan oleh pihak DKP. Ketika kuasa hukum pemohon minta agar sejumlah ABK diperbolehkan memberikan keterangan dalam persidangan, justru pihak DKP menolak permintaan itu.
Dengan kondisi demikian, Lilik pun berkesimpulan bahwa aparat DKP telah mengekang kebebasan para ABK. “Hal itu identik dengan penangkapan dan penahanan yang tidak sah,” ungkapnya. Lilik lantas mengutip definisi penangkapan dan penahanan yang terdapat dalam pasal 1 angka (20) dan (21) KUHAP.
“Tidaklah dapat dibenarkan tindakan termohon melakukan pengekangan tanpa adanya penjelasan status mengenai penangkapan dan penahanan karena hal ini bertentangan dengan HAM dan supremasi hukum,” kata Lilik.
Lilik juga menolak keberatan kuasa hukum DKP mengenai Surat kuasa khusus yang diberikan 9 warga China. Menurut Lilik, Surat kuasa sebagian pemohon yang merupakan warga RRC tetap sah karena meskipun tidak dilegalisasi dan didaftarkan di Kedubes RRC.
Soal ganti rugi, Lilik tak mengabulkan permintaan pemohon yang menginginkan agar seluruh ABK diberi ganti rugi Rp500 ribu per orang terhitung sejak 10 Desember 2006 lalu. Menurutnya, ganti rugi Rp1 juta per orang sudah pantas. Selain itu, ganti rugi terhadap pemilik kapal juga tak dikabulkan. Sebelumnya, pemohon meminta agar diberi ganti rugi Rp1 juta per hari terhitung sejak 10 Desember 2006. Merujuk pada putusan MA No. 1828 K/Pid/1989, Lilik menegaskan, masalah penyitaan bukanlah obyek dari praperadilan.
Hanya Pelanggaran Pihak DKP dari awal bersikeras tidak melakukan penangkapan dan penahanan. Yang mereka lakukan hanyalah tindakan ‘pengamanan’ dan penyitaan barang bukti. Sebab, bersama kapal berbendera China Yuan Fu F-68, KM Bahari Makmur 2 dinilai telah melakukan tindak pidana perikanan (illegal fishing).
“Kami tidak pernah melakukan pengekangan, sebab para ABK itu bebas beraktifitas dan berkeliaran seusai keinginannya. Kami juga tidak pernah melakukan penangkapan maupun penahanan, sehingga tidak perlu menerbitkan surat perintah penahanan terhadap nahkoda dan ABK,” kata kuasa hukum DKP, Sabar M Simamora.
Tetapi argumen itu justru menjadi senjata bagi kuasa hukum ABK untuk menyerang balik DKP. Ketentuan hukum yang digunakan untuk menjerat ABK adalah pasal 103 ayat (2) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Padahal, illegal fishing masuk dalam kategori pelanggaran.
“Hal itu bertentangan dengan pasal 19 ayat (2) UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka pelaku pelanggaran tidak boleh ditangkap,” kata August H Pasaribu, kuasa hukum para ABK. Lebih dari itu, saat melakukan penangkapan, aparat DKP tidak membuat Berita Acara Penangkapan. Hal ini, kata August, bertentangan dengan pasal 75 ayat (1) hurf (b) KUHAP.
August menambahkan, selama sembilan hari sejak tanggal 10 hingga 19 Desember 2006, ada banyak ketentuan perundangan yang dilanggar. “Dalam pasal 19 KUHAP, penangkapan adalah 1 hari. Sedangkan dalam pasal 13 huruf (b) UU NO. 15 tahun 1985, penangkapan kapa tidak boleh melebihi jangka waktu 7 hari. Dan, pasal 69 ayat (3) UU No. 31 Tahun 2004 menyebutkan, jangka waktu penahanan kapa adalah sampai dengan tiba di pelabuhan terdekat,” urainya.
Pada 15 Desember 2006, Surat resmi pelumpuhan memang baru dikeluarkan. Empat hari kemudian dilakukan pelimpahan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari DKP kepada kejaksaan.
Sementara itu, pihak DKP menegaskan, penyitaan KM Bahari Makmur sejatinya dilakukan pada 17 Desember 2006. Hanya, pemilik kapal tersebut mengaku DKP tidak pernah memberi tahu persoalan ini.
“Setelah kapal diperiksa, ditangkap, dan dibawa ke Tual sejak 10 Desember lalu hingga hari ini status hukum KM Bahari Makmur dan ABK-nya tidak jelas. Padahal, dalam KUHAP telah diatur status hukum seseorang harus jelas dalam 24 jam,” kata kuasa hukum pemohon, Eny Maryana.
Bermula dari Transhipment Pada 10 Desember tahun lalu, kapal pengawas perikanan DKP menangkap kapal Fu Yuan Fu F-68 berbendera China yang sedang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Arafuru. Penangkapan dilakukan oleh kapal Hiu Macan 002 milik DKP saat terjadi transhipment (pemindahan muatan ikan) dari KM Bahari Makmur 2.
Lebih parah lagi, kapal tersebut hanya berbekal surat-surat palsu. Meski dilengkapi surat izin penangkapan dan surat izin pelayaran dari pemerintah New Zealand, namun dipastikan surat tersebut palsu. Bahkan pihak kedutaan New Zealand sudah mempertanyakan masalah pemalsuan surat tersebut.
Kapal Fu Yuan Fu yang berbobot 2.000 gross ton (GT) itu, 27 ABK-nya warga negara China. Sedangkan Kapal Bahari Makmur 2 dari 20 ABK, 11 orang di antaranya berkebangsaan Indonesia dan sembilan orang China. Ikan yang ditangkap KM Bahari 2 sebanyak 1.400 ton, tapi saat ditangkap, yang berhasil dilakukan transhipment baru 40 ton.
Para ABK KM Bahari 2 kemudian digiring ke pelabuhan perikanan Nusantara Tual. Dengan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DKP Tual, mereka berada di pelabuhan itu hingga 12 Februari. Pada saat berada di pelabuhan Tual itulah PPNS DKP Tual mulai mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada kejaksaan negeri Tual.
22 Februari, KM Bahari Makmur 2 dan ABK-nya dibawa ke Jakarta. Sejak 5 Maret hingga didaftarkannya permohonan praperadilan, KM Bahari Makmur 2 dan ABK-nya ditahan di demaga Nizam Zachman Muara Baru Jakarta Utara. Para ABK tetap tidak diijinkan meninggalkan kapal.
Kemudian, pada 5-16 Maret, dua ABK ‘diamankan’ dengan cara dipindahkan dari kapal ke pos TNI AL Muara Baru. Semua itu dilakukan dengan alasan pengamanan barang bukti, tanpa adanya surat penahanan. |
|
posted by HERMANSYAH
2:44 AM
|
|
|
|
|
|
myprofile |
previouspost |
myarchives |
mylinks |
bloginfo |
|